EKONOMI KERAKYATAN
Disusun
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Pancasila
DISUSUN
OLEH :
KELAS 1 C
1. NURJANAH
PRATIWI (10108241081)
2. RIZQI MUNANDAR
(10108241082)
3. ANNISA NURUL AZIZAH (10108241098)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
Kata Pengantar
Segala puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Dalam
penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Sigit Dwi Kusrahmadi,
selaku pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan, dan motivasi dalam penyusunan makalah ini.
2. Orang tua yang telah memberikan
dukungan doa, motivasi dan memfasilitasi dalam bentuk material.
3. Teman-teman yang telah memberikan
dukungan dan motivasi.
4. Serta semua pihak yang telah
terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Makalah
ini tentu tidak sempurna serta tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka
dari itu kami mohon maaf. Kami sangat menunggu kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
judul………………………………………………………………….…........................................... i
Kata
Pengantar…………………………………………………………........................................... ii
Daftar
Isi……………………………………………………………................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………………………….. 1
BAB
II ISI
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan……………………………………………………......................................... 19
- Saran…………………………………………………………….......................................... 19
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………….............................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya wacana
ekonomi kerakyatan menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan
sesuatu yang patut diapresiasi. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah
situasi krisis ekonomi yang sedang kita hadapi saat ini. Di mana penerapan
agenda-agenda ekonomi kapitalisme neoliberal dianggap sebagai penyebab
terjadinya krisis ekonomi yang sangat dalam di berbagai negara termasuk
Indonesia. Di saat bersamaan, opini dunia sedang mengarah pada upaya koreksi
terhadap tatanan ekonomi-politik dunia yang didominasi oleh kekuatan pasar yang
sangat tidak adil dan melahirkan ketimpangan.
BAB
II
Ekonomi kerakyatan
Sebagai
sebuah gagasan ekonomi, ekonomi kerakyatan identik dengan keberpihakan terhadap
rakyat kecil, walau sepenuhnya tidak menjelaskan pengertian yang sesungguhnya.
Pengertian dari Sistem
Ekonomi Kerakyatan
sendiri adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan
sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Seharusnya dengan adanya sistem ekonomi
kerakyatan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD
1945, ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi
kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat
disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan.
Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut:
(1)
mengembangkan koperasi
(2)
mengembangkan BUMN;
(3) memastikan
pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(4) memenuhi hak
setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak;
(5) memelihara
fakir miskin dan anak terlantar. Ekonomi kerakyatan identik dengan keberpihakan
terhadap rakyat kecil, walau sepenuhnya tidak menjelaskan pengertian yang
sesungguhnya.
Secara historis,
gagasan ekonomi kerakyatan pada mulanya dibangun dari kesadaran untuk
memperbaiki kondisi ekonomi rakyat yang terkucilkan di bawah kolonialisme.
Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan
dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari sebuah perekonomian yang
berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian nasional.
Dapat dikatakan bahwa ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya
sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa
adanya insentif artifisial apapun,
atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam
ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan
bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku
ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang
luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan
menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi
kerakyatan? Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan
representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan
kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas
ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua)
lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan
penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.
Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih
menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui
pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif
yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang
besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis
yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur
rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk
menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal
ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right)
untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Perlu digaris bawahi
bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi
nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi
nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu
sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, rasanya kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan
kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di
luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi
nasional. Dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah untuk
dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit diacu untuk mencapai
keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar”
yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah
akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam
Smith yang relatif bersifat utopis
ini harus diabaikan. Perspektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan,
keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith
adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan
melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati
kondisi itu melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang
berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain
di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang
keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat
dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan.
Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme
pasar sering tidak berjalan dengan baik, khususnya sejak masa orde baru.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini
antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang
tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh
eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR
mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan
yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Komitmen
pemerintah untuk mengurangi gap
penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat
dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi
yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian
target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan
kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang
berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya
dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi
mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar
ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi
nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat
dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR
dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada
usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme
pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan
kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative
action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena
bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah
pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga
berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem
ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang
dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi
nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan
ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme
pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun
namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman
serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri
belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti
keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri,
dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan
keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi
perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran
yang sangat strategis.
Bagi kami, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita
semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan
pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena
ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi
nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi
kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah
(orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar
guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam
prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha
besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim.
Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok
industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan
akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada
akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari
industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri
otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi
suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar
pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada
kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level
perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai
bentuk proteksi.
Kami juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat
menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat
seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju
yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu
menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula.
Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa
negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security
jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok
masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru
negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar
(seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan
ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial
temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari
memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan
dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada
intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan
pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang
namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme
pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative
action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme
pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih
dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan
sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada
justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam
mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk
pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan
“sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi kami, harganya terlalu mahal
bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti.
Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh
pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat
dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde
baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri
kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out
process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya
mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya
tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan
(dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan
pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan
konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal kami katakan bahwa semua pihak
perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan
koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR.
Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu
pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan
diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan,
partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan
pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi
Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001).
Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar
komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru
yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan
itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada
rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang
kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan
membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan
ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya
tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar
dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang
kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat
kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden,
2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa
yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi
uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi
yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar,
menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada
pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang
dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.
Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka kami khawatir cerita
keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.
Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha
kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive,
karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang
merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya
sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa
adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan
naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang
pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya
ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan
sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan
keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan
seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative
action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara
sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat
tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi
bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan
ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena
sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan
momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru
kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk
mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan
program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi
untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai
dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting
dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang
harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita
akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa
pemerintahan orde baru.
Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan
ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM
dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan
dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian
empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi
adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan,
keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar,
keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif
ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah
yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan
adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar
jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini
perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya
berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep
‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan
program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan
keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan
struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus
diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik
pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi.
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era
otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif
territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’
di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan
karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang
‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya
berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan
ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang
langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh
pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian
besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha
mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari
program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran
berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara
kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa
Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data
realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode
1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak
tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan
(pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002).
Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang
dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian
Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi
ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan
Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang
cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem
nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara
turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi
perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang
usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan,
sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb.
Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program
pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program
rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner
life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap
tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang
disebut pendekatan kultural (cultural approach).
Lima Hal Pokok Yang Harus Segera
Diperjuangkan Agar Sistem Ekonomi Kerakyatan Tidak Hanya Menjadi Wacana Saja
1.
Peningkatan
disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
2.
Penghapusan
monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair
competition)
3.
Peningkatan
alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
4.
Penguasaan
dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
5.
Pembaharuan
UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidang
usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat
dalam konteks ekonomi kerakyatan
WELFARE
STATE DAN PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
Pembangunan ekonomi nasional selama
ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator
utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Meskipun beberapa
tahun sebelum krisis ekonomi, Indonesia tercatat sebagai salah satu macan
ekonomi Asia dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen per tahun,
angka pertumbuhan yang tinggi ini ternyata tidak diikuti oleh pemerataan.
Studi BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5
persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang
dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari
keseluruhan dunia usaha. Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini
terlihat pula dari masih meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun
waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen
menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam,
terutama selama krisis ekonomi. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan
jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau
sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS-UNDP, 1999).Angka
kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai
lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan,
yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki
pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin.
Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan
(vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan
politik. Mengapa proses pembangunan ekonomi selama ini belum mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat? Siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab
melaksanakan pembangunan (bidang) kesejahteraan sosial ini?***Pembangunan
ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun,
pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak
akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme
pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal,
ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah
sosial. Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh
oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan
ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun
strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di
sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak
adil. Itulah salah satu dasarnya mengapa negara-negara maju berusaha
mengurangi kesenjangan itu dengan menerapkan welfare state (negara
kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara
(pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga
dan berkesinambungan. Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini,
peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic
and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong
pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui
pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat.
Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan
terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan
daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari
persaingan pembangunan. Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah
kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan
ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang
berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan
sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta
berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
Pembangunan kesejahteraan sosial di
Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar Negara
Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan prinsip keadilan sosial dan secara
eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab
pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat
konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde
Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru
sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar.
Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum
didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih
dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu,
baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip
belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas. Bahkan kini terdapat
kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan
sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih
tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk
menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani
masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat. Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan
privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa
menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan
kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim
jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata
terutama oleh masyarakat kelas bawah. Pengalaman di dunia Barat memberi
pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi
kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah
strategi mencari uang, sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah
strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata. Diibaratkan sebuah
keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi
perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap
anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat
atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa,
barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap
agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.
Negara Kesejahteraan Versi
NKRI
Gubernur
Sumatera Selatan membuat gebrakan hebat. Sesuai dengan janji kampanyenya,
rakyat Sumatera Selatan akan menikmati dua hal yang gratis, yaitu: pendidikan
dan pengobatan. Langkah ini termasuk luar biasa, karena ini pertama kalinya
kebijakan gratis diterapkan dalam cakupan satu provinsi. Sebelum Provinsi
Sumatera Selatan, beberapa kabupaten sudah melakukan kebijakan pendidikan
gratis. Secara nasional, pemerintah pusat juga melakukan kebijakan jaminan
sosial dengan program bantuan langsung tunai, beras untusk orang miskin dan
pembiayaan kesehatan bagi orang miskin. Memang langkah Indonesia menuju negara
kesejahteraan (welfare state) masih sangat jauh. Beberapa kebijakan yang belum
dilakukan sebagai syarat negara kesejahteraan adalah jaminan penghasilan bagi
orang yang kehilangan pekerjaan dan jaminan hari tua bagi semua
penduduk.Inspirasi negara kesejahteran memang didapat dari negara-negara Eropa.
Dengan segala variasinya, negara kesejahteraan di Eropa berusaha mengurus
rakyatnya dari lahir hingga meninggal. Negara kesejahteraan ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Negara memberlakukan pajak yang sangat tinggi. Dan
untuk itu diperlukan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Jika pertumbuhan ekonomi
menurun, pendapatan negara berkurang, sementara beban negara tetap bahkan
bertambah oleh pengangguran, maka dapat dibayangkan betapa beratnya menjalankan
sistem negara kesejahteraan. Fakta yang ada sekarang, hampir semua negara
kesejahteraan mengalami kemunduran. Swedia sebagai benteng terakhir kehebatan
negara kesejahteraan juga mengalami kemunduran. Futurolog John Naisbitt dalam
bukunya Mind Set, membahas khusus kemunduran Eropa ini. Dia mengatakan tanpa
ladang minyak seukuran seperti yang ditemui di Arab Saudi, sistem jaminan
sosial Eropa tidak bisa dibiayai. Negara kesejahteraan akan bangkrut.
Indonesia
memang belum menjadi negara kesejahteraan. Dan Indonesia mempunyai masalah
besar dalam menuju cita-cita negara kesejahteraan ini, yaitu: kekayaan
Indonesia terbatas.
Kekayaan alam Indonesia memang
banyak, tapi tetap terbatas untuk membiayai negara kesejahteraan. Ladang minyak
luar biasa besar belum ditemukan. Selain itu kehidupan bisnis yang dinamis,
yang bisa menghasilkan pajak yang juga luar biasa, belum terjadi di Indonesia.
Masalah utama kita sekarang adalah
kebijakan ala negara kesejahteraan yang diterapkan secara lokal di suatu daerah
sangat mencederai prinsip keadilan. Adilkah dalam negara kesatuan RI, rakyat di
Sumatera Selatan memperoleh pendidikan dan pengobatan gratis, sementara di
Kalimantan Barat tidak?Jika semua daerah memberikan jaminan sosial yang sama
tentu saja ini adil. Namun kebijakan saat ini adalah tidak sama. Ada daerah
yang memberikan hal dasar gratis, sementara di daerah lain menghadapi masalah
gizi buruk. Ini tidak adil. Biasanya daerah yang mampu memberikan hal gratis ini
adalah daerah yang kaya sumberdaya alam seperti Sumatera Selatan. Dana bagi
hasil sumberdaya alam membedakan daerah kaya dan daerah miskin. Daerah kaya
sumberdaya alam bisa memperoleh sampai 70% dana bagi hasil. Soal pendapatan
masing-masing daerah juga terjadi keanehan. Pada suatu masa negeri ini menolak
mati-matian federalisme, sementara yang dilakukan justru melebihi federalisme.
Christianto Wibisono pernah menulis bahwa di Amerika Serikat dan Jerman sebagai
'mbahnya' federalisme, tidak ada dana bagi hasil sebesar itu. Daerah mendapat
70%, sementara pusat mendapat komisi 30% hanya bisa terjadi di negara Republik
Indonesia yang berbentuk kesatuan ini. Ini yang menyebabkan ketimpangan
pendapatan antar daerah yang kaya sumberdaya alam dengan yang miskin.Jadi
kebijakan jaminan sosial yang berlaku lokal harus dikoreksi. Bagaimanapun
Pancasila sebagai dasar negara masih berlaku. Sila kelima: keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, masih berlaku. Semua kebijakan yang menyangkut
kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat harus berlaku sama di setiap jengkal
wilayah Indonesia. Keadilan sosial itulah yang menjadi tujuan kita berbangsa
dan bernegara. Kalau di sini gratis, maka hendaknya gratis pula di sana. Jangan
sampai di sini gratis, di sana menangis.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Untuk
menuju Negara Kesejahteraan, Indonesia
masih sangat jauh. Hal tersebut karena
kekayaan Indonesia terbatas. Kekayaan alam Indonesia memang banyak, tapi tetap
terbatas untuk membiayai negara kesejahteraan. Ladang minyak luar biasa besar
belum ditemukan. Selain itu kehidupan bisnis yang dinamis, yang bisa
menghasilkan pajak yang luar biasa, belum terjadi di Indonesia.
B. SARAN
Semua
kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat harus
berlaku sama di setiap jengkal wilayah Indonesia. Keadilan sosial itulah yang
menjadi tujuan kita berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_40.htm
http://erwinwirawan.blogspot.com/2009/02/negara-kesejahteraan-versi-nkri.html
http://erwinwirawan.blogspot.com/2009/02/negara-kesejahteraan-versi-nkri.html
0 Komentar