Advertisement

Main Ad

III Psikologi Pendidikan - Kognitivisme Gestalt


Makalah
Kognitivisme Gestalt


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen pengampu :
Dr. Muhammad Nur Wangid, M.Si


                         Disusun oleh :
                          Kelas III C

Rizqi Munandar                      10108241082
                                    Nurna Noviatri                        10108241090
                                    Ervan Adi Kusuma                 10108241108


 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011





KATA PENGANTAR


            Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul :
Kognitivisme Gestalt
Kiranya, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Dr. Muhammad Nur Wangid, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran yang sangat membantu dalam penyusunan makalah ini.
  1. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan material maupun spiritual.
  2. Teman-teman kelas III C PGSD Kampus III FIP  UNY yang selalu memberikan dukungan  dalam penyelesaian makalah ini.
  3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan kontribusi positif dalam proses pembuatan makalah ini.

Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca dan sekaligus mendorong adanya makalah-makalah lain ntuk memajukan wawasan ilmu pengetahuan.
Dengan segala keterbatasan yang ada pada penyusun dan makalah ini, dengan rendah hati kami mengharap kritik dan saran dari semua pihak dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.


Yogyakarta, Oktober 2011


Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................         i
KATA PENGANTAR  ...................................................................................        ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………...............       iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................................................        1
B.     Tujuan Penulisan ............................................................................        2

BAB III PEMBAHASAN
A.    Sejarah Munculnya Teori Gestalt ...................................................        3
B.     Eksperimen Tokoh Gestalt terhadap Simpanse..............................        4
C.     Ciri-Ciri Proses Belajar yang Menggunakan Insight  .....................        5
D.    Pokok-Pokok Teori Gestalt ............................................................        7
E.     Prinsip Dasar Teori Gestalt ............................................................        7
F.      Hukum-Hukum Gestalt .................................................................        9
G.    Aplikasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran ...................................      11
H.    Aplikasi dalam Pendidikan dan Pengajaran ..................................      12
I.       Tokoh-Tokoh Teori Gestalt ............................................................      17

BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan  ...................................................................................      21
B.     Saran ..............................................................................................      21

DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah data yang paling dasar dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat phenomonologi yang mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada obyek itu.
Sejarah munculnya teori Gestalt sendiri dipelopori oleh tokoh seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh Gestalt ini melakukan eksperimen, diantaranya adalah Kohler. Kohler melakukan eksperimen kepada simpanse. Simpanse diberi perlakuan khusus yang kemudian menghasilkan suatu hasil tertentu yang akhirnya mendukung dan memperkuat teori Gestalt.
          Dalam teori Gestalt, dikenal yang namanya insight. Konsep insight dapat juga berarti pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. “Insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga.

          Dalam teori Gestalt, terkandung pokok-pokok teori Gestalt dan prinsip-prinsip teori Gestalt. Selain itu ada pula hukum-hukum Gestalt. Dengan dasar teori Gestalt tersebut, maka teori Gestalt diterapkan di proses pembelajaran, pendidikan serta pengajaran sehingga membantu tercapainya tujuan pendidikan.

B.     Tujuan
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk mengetahui:
a.       Sejarah munculnya teori Gestalt
b.      Eksperimen tokoh Gestalt terhadap simpanse
c.       Ciri-ciri proses belajar yang menggunakan insight
d.      Pokok-pokok teori Gestalt
e.       Prinsip dasar teori Gestalt
f.    Hukum-hukum Gestalt
g.      Aplikasi Teori Gestalt dalam proses pembelajaran
h.      Aplikasi dalam pendidikan dan pengajaran
i.        Tokoh-tokoh teori Gestalt






BAB II
PEMBAHASAN

A.           Sejarah Munculnya Teori Gestalt
          Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi Gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Max Wertheimer (1880-1943) adalah peletak dasar teori Gestalt yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse.  Istilah ‘Gestalt’ sendiri merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu ‘form’, ‘shape’ (dalam bahasa Inggris) atau bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Terjemahannya dalam bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain ‘shape psychology’, ‘configurationism’, ‘whole psychology’ dan sebagainya. Karena adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahannya, akhirnya para sarjana di seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah ‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan kedalam bahasa lain.
          Teori Gestalt memandang bahwa belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain teori Gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari individu tersebut. Oleh karena itu, teori belajar gestalt ini disebut teori insight (H.Baharuddin dan Nur Wahyuni, Esa, 2007).
            Konsep insight dapat juga berarti pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu
 
satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. “Insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, I see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga.

B.       Eksperimen Tokoh Gestalt terhadap Simpanse

Untuk mengetes berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah belajar, Kohler menggunakan sejumlah rangkaian eksperimen, yaitu:
a.       Detour Problem
Dalam detour problem, binatang dapat dengan melihat makanan sebagai tujuan, tetapi tidak dapat mencapai secara langsung. Ia harus putar jalan melalui jalan samping yang lebih jauh (ngalang), tidak langsung, untuk mencapai makanan tersebut. Kohler menemukan bahwa ayam lebih sukar mencapai pemecahan, sedang simpanse relatif lebih mudah. Binatang yang lebih tinggi tingkatannya, akan lebih cepat dalam pemecahan problem. Proses menguasai medan dan hubungan lebih cepat.
b.      Percobaan dengan Simpanse
Pisang digantungkan di suatu tempat yang tidak diraih oleh simpanse tersebut. Disediakan dua tongkat yang dapat disambung dengan mudah. Masing-masing tongkat tidak cukup untuk meraih pisang, bila tidak disambung. Ternyata akhirnya simpanse tiba-tiba menemukan insight. Dengan cepat ia menyambung dua tongkat tersebut, kemudian dapat meraihnya. Situasi sekitar dimana ada pisang, kandang, dan tongkat, merupakan satu kesatuan medan. Antara tongkat satu dengan tongkat kedua serta pisang, bukan sebagai jarak, ditutup kekurangannya hingga merupakan keseluruhan (prinsip closure).
Percobaan dengan simpanse itu bervatiasi, misal pisang digantung yang agak tinggi. Kemudian disediakan tiga buah box yang ditaruh terpencar. Dengan prinsip kesatuan medan, closure dan insight, simpanse akhirnya dapat meraih pisang dengan menumpuk tiga box dan berdiri diatasnya.
Percobaan divariasi lain: Pisang digantung. Disediakan dua box dan satu tongkat yang ditaruh terpencar (Tinggi gantungan pisang telah diatur yang hanya dapat dicapai dengan berdiri di atas tumpukan dua box dan menggunakan tongkat). Namun akhirnya simpanse itu dapat meraih pisang dengan menumpuk dua box, berdiri diatasnya sambil menggunakan tongkat untuk meraih pisang (Tim penulis Buku Psikologi Pendidikan, 1993: 88).
            Dari eksperimen-eksperimen tersebut menunjukkan simpanse dapat memecahkan problemnya dengan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya.
          Eksperimen yang dilakukan oleh Kohler juga menunjukkan pentingnya pembentukan insight dalam belajar. Pembentukan insight dalam diri individu belajar terjadi karena ada persepsi terhadap lingkungan dan menstrukturnya sehingga membentuk menjadi susunan yang bermakna, yaitu terbentuknya insight.

C.           Ciri-Ciri Proses Belajar yang Menggunakan Insight
          Proses belajar yang menggunakan insight (insightfull learning) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, sebagaimana pendapatnya Hilgard (1948, p. 190-195) dalam (Sumadi Suryabrata, 1993: 298-300) :
1.      Insight itu tergantung kepada kemampuan dasar.
Kemampuan dasar berbeda-beda dari individu yang satu ke individu yang lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk belajar dengan insight ini.
2.      Insight itu tergantung pengalaman masa lampau yang relevan.
Walaupun insight itu tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan, namun memiliki pengalaman masa lampau tersebut belum menjamin dapatnya memecahkan problem. Jadi misalnya anak tidak dapat mengerjakan problem aljabar, kalau dia belum tahu menggunakan simbol-simbol dalam aljabar tersebut terlebih dahulu (dari masa lampau), tetapi anak yang telah menguasai simbol-simbol tersebut serta mengetahui cara-cara pemecahan problem dalam aljabar belum tentu dapat memecahkan problem tersebut. Disinilah letak perbedaan antara teori Gestalt dengan teori asosiasi yang beranggapan bahwa hanya memiliki pengalaman masa lampau yang diperlukan seseorang akan dapat memecahkan problem, sebab pemecahan-pemecahan problem berarti penerapan operation-operation yang telah dipelajari terlebih dahulu.
3.      Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental
Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati. Apabila alat yang diperlukan untuk pemecahan problem itu dapat dibuat seakan-akan menjadi tidak mungkin, maka problem menjadi lebih sukar.
4.      Insight itu didahului oleh suatu periode mencoba-coba.
Insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal yang harus dicari. Sebelum dapat memperoleh insight orang harus sudah meninjau problemnya dari berbagai arah dan mencoba-coba memecahkannya.
5.      Belajar yang dengan insight itu dapat diulangi.
Jika suatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan langsung memecahkan problem itu lagi.
6.      Insight yang telah sekali didapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi baru.



D.      Pokok-pokok Teori Gestalt
          Esensi dari teori psikologi Gestalt adalah bahwa pemikiran adalah usaha usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang teroganisir berdasarkan sifat sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah pisah. Berpikir merupakan proses kognitif yang dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan. Teori belajar kognitif menjelaskan bahwa pemecahan masalah melibatkan tiga tahapan utama yang meliputi persiapan untuk menemukan solusi, memroduksi solusi dan melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan. Para pengikut Gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk memahami dengan tepat kemudian menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana.
          Teori kognitif dan gestalt lebih menekankan pada proses mental (proses pemikiran) yang melatar belakangi kegiatan atau aktivitas belajar. Sudut pandang ini didasarkan atas aliran strukturalisme dan aspek neurologi sebagai latar belakang pembentukan teorinya. Kedua teori ini menekankan pada proses sensasi dan persepsi yang melatar belakangi belajar. Asumsinya, perubahan dalam proses persepsi merupakan landasan belajar. Proses perseptual dasar bekerja berdasarkan prinsip-prinsip gestalt yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana individu mengorganisasikan (atau mereorganisasikan) potongan-potongan informasi menjadi suatu keseluruhan yang lebih punya makna.

E.            Prinsip Dasar Teori Gestalt
          Menurut Tim Penulis Psikologi Pendidikan (1993: 85), prinsip-prinsip Gestalt pada pesepsi adalah sebagai berikut:
1. Figure-Ground Relationship
            Yaitu suatu kenyataan bahwa suatu bidang persepsi dibagi menjadi suatu obyek perhatian (figur) dan suatu bidang diffusi yang merupakan latar belakang. Antara figur dan latar belakang itu saling berhubungan, tergantung perhatian kita. Jika perhatian kita titik beratkan pada bidang pertama, bidang itu dominan dan merupakan figur, sedang bidang lain merupakan latar belakang (bidang kedua). Sebaliknya bila perhatian kita titik beratkan pada bidang kedua, bidang itu dominan kesatuannya, dan merupakan figur, sedang bidang pertama berganti menjadi latar belakang. Jadi antara figur dan latar belakang itu dapat berganti-ganti sesuai perhatian kita, namun tetap penuh arti.
Contoh:
Gambar tempat bunga (jambangan) yang berada di tengah-tengah dua wajah yang berhadapan. Jika diperhatikan kita fokuskan di tengah, tampak figur jambangan, kanan kiri sebagai background. Bila kita perhatian kita fokuskan kanan kiri, tampak figur wajah yang berhadapan, medan tengah sebagai background.
2. Prinsip Similiarity
            Dalam kita melakukan pengamatan, maka obyek-obyek yang mempunyai kemiripan (similiarity) satu sama lain akan diorganisasikan ke dalam satu persepsi.
3. Prinsip Proximity
            Dalam kita mengamati, obyek-obyek yang berdekatan satu sama lain akan nampak sebagai suatu unit persepsi.
4. Prinsip Inclusiveness
            Adanya kecenderungan untuk merespon obyek dalam lingkungan yang berisi jumlah stimulus yang terbanyak.
5. Prinsip commonfate
            Kecenderungan untuk melihat gerakan obyek-obyek dalam arah yang sama sebagai suatu unit persepsi. Obyek yang bergerak bersama-sama dalam suatu arah yang sama atau dalam suatu pola yang sama akan dikelompokkan bersama dalam medan persepsi.
6. Prinsip Closure
            Menyatakan bahwa kita mempunyai tendensi untuk melengkapi atau mengisi pengalaman-pengalaman yang tidak lengkap, agar menjadi lebih berarti. Contoh: bila kita melihat garis putus-putus yang mendekati lingkaran, kita akan cenderung untuk mengisi atau melengkapi gap sehingga kita merespon sebagai suatu lingkaran yang komplit garisnya tidak terputus-putus.

F.     Hukum-hukum Gestalt
Dalam buku Psikologi Pendidikan, tulisan Sumadi Suryabrata (1993: 297-298), menyebutkan hukum-hukum pengamatan  (hukum-hukum belajar) menurut aliran Gestalt. Menurut aliran Gestalt ini ada satu hukum pokok, yaitu hukum Pragnanz, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu hukum-hukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan dan kontinuitas.
1.      Hukum Pragnaz
Kata Pragnanz itu sukar diterjemahkan; barangkali kita dapat mengambil istilah dari bahasa daerah Jawa “momot” (memuat) yang berarti banyak isi dan artinya. Di dalam bahasa Jerman sendiri dijelaskan sebagai “knapp, und doch viel sagend”. Hukum Pragnanz ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian, yaitu berarah kepada Pragnanz itu, yaitu sesuatu keadaan yang seimbang, suatu Gestalt yang baik. Gestalt yang baik, keadaan yang seimbang ini mencakup sikap-sikap keteraturan, kesederhanaan, kestabilan, simetri, dan sebagainya.
Medan pengamatan, jadi juga setiap hal yang dihadapi oleh individu, mempunyai sifat dinamis, yaitu cenderung untuk menuju ke keadaan Pragnanz itu, keadaan seimbang. Keadaan yang problematis adalah keadaan yang tidak Pragnanz, tidak beratur, tidak sederhana, tidak stabil, tidak simetri, dan sebagainya dan pemecahan problem itu ialah mengadakan perubahan dalam struktur medan atau hal itu dengan memasukkan hal-hal yang dapat membawa hal yang problematis ke sifat Pragnanz.





2.      Hukum Kesamaan (the law of similarity)
Hal-hal yang cenderung sama akan membentuk kesatuan
 
                                                     
      













 



Melihat gambar di atas  orang akan cenderung melihat ke arah kanan karena ada persamaan obyek dan orang mengamati deretan mendatar sebagai kesatuan (gestalt).
3.      Hukum Keterdekatan (the law of proximity)
Hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan.


 




4.      Hukum ketertutupan (the law of closure)
Hal-hal yang tertutup cenderung membentuk gestalt.
 




5.      Hukum Kontinuitas
Hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan akan membentuk kesatuan.






G.      Aplikasi Teori Gestalt dalam Proses Pembelajaran
Akhmad Sudrajat menguraikan beberapa Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
  1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
  2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
  3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
  4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
  5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

H.                APLIKASI DALAM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
Menurut Tim Psikologi Pendidikan (1993: 92-98), banyak praktek pendidikan dan pengajaran yang menggunakan dasar psikologi Ilmu Jiwa Gestalt.
a.                  Dalam Bidang Kurikulum
Kurikulum concentris merupakan pengetrapan prinsip-prinsip Ilmu Jiwa Gestalt. Kurikulum ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam tingkatan yang rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Di sini diajarkan yang pokok-pokok secara garis besar.  Di tingkat yang lebih tinggi, kesatuan itu diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian lebih mendalam. Sedang di tingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut tetap digunakan, tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih mendalam lagi. Begitu seterusnya. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum concentris ini dapat terwujud dalam:
1)      Pengajaran pusat minat
2)      Pengajaran proyect
3)      Pengajaran heimat kunde (alam sekitar)
4)      Salah satu prinsip dalam sistem among oleh Ki Hajar Dewantoro
b.                 Dalam Bidang Didaktik Metodik
Dalam bidang didaktik metodik, khususnya mengenai metode mengajar membaca menulis, pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata pengetrapan Ilmu Jiwa Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu telah mampu menggoyahkan metode mengajar yang telah berabad-abad sejak zaman Yunani Kuno hingga awal abad 20 ini. Di Indonesia khususnya, metode mengajar membaca menulis dengan metode mengeja ini masih ada guru yang melakukan, meskipun secara resmi pemerintah telah mengganti dengan metode global (secara resmi digunakan istilah metode S.A.S = Struktural Analitis Sintetis). Namun generasi guru muda telah dibekali keterampilan menggunakan metode membaca menulis global (S.A.S), hingga dalam tempo tidak lama lagi akan menggantikan metode mengeja secara penuh.
Secara singkat dapat dibandingkan metode mengeja dengan metode global sebagai berikut:
1)      Metode Mengeja
a)      Dimulai dari huruf. Murid-murid diajarkan bunyi dari tiap-tiap huruf.
b)      Setelah murid hafal bunyi tiap-tiap huruf, maka huruf-huruf itu dirangkai menjadi suku kata. Murid dilatih terus untuk menghafalkan rangkaian huruf ke dalam suku kata.
c)      Murid diajarkan merangkai suku kata menjadi kata. Setelah murid hafal bunyi suku kata, murid dilatih dengan berbagai kombinasi suku kata menjad kata. Latihan membaca kata-kata dengan berbagai variasi suku kata yang telah dimengerti diperbanyak.
d)     Setelah murid dapat membaca kata-kata, dilanjutkan membaca kalimat yang disusun dari kata-kata yang diberikan.
e)      Akhirnya murid terlatih membaca ceritera sederhana yang merupakan rangkaian kata-kata yang telah diajarkan.

Disamping dari psikologi, terutama Gestalt, metode mengeja tersebut tidak mempunyai dasar.
a)      Permulaan sekali, murid dihadapkan pada huruf, yang justru merupakan elemen terkecil. Hal ini sangat asing bagi anak. Kita melakukan persepsi bukan dari elemen dulu, tetapi sebaliknya, secara keseluruhan (global) dulu, baru menuju bagian atau elemen. Jadi, metode eja menyalahi prinsip Gestalt.
b)      Murid pertama kali belajar telah dihadapkan pada huruf. Huruf itu bagi anak belum dikenal, tidak mempunyai arti (makna). Seharusnya dimulai dari suatu kebulatan kesatuan yang mengandung makna. Jadi metode eja menyalahi prinsip insightfullness.
c)      Dalam menghubungkan kata, murid-murid banyak mengalami kesukaran, karena kecuali tidak dikenal (tanpa arti) juga tidak merupakan figur. Akibatnya sukar terjadinya prinsip closure dan figure ground relationship.
d)     Karena bahannya asing, maka tidak memberikan pikiran untuk proses mengorganisasikan dan tidak membentuk trace sistem.

Dilihat dari segi prestasi, metode mengeja kurang memuaskan;
a)      Waktu antara membaca mengeja dengan membaca wajar sangat lama. Kadang-kadang sampai kelas IV SD masih mengeja.
b)      Murid membacanya terputus-putus, sebab setiap selesai membaca satu kata, ia berhenti untuk mengeja kata berikutnya. Jadi membacanya tertegun-tegun. Hal ini kadang-kadang masih tampak pada murid SMP.
c)      Lagu membacanya kurang wajar. Biasanya setiap akhir kalimat dibaca dengan lagu naik (Djawa: njengek). Karena itu kadang-kadang dari jauh kita dapat menebak metode membaca yang dipakai oleh suatu SD.
d)     Dalam membaca yang sesungguhnya, murid mengalami kesukaran menangkap isinya. Hal ini disebabkan sejak permulaan murid terbiasa membaca tehnis, tidak mementingkan isi. Bahkan bahan yang dibaca memang tidak harus mengandung makna.
e)      Bagi anak menjemukan, karena tidak mempunyai arti, tidak dikenal, tidak mendorong timbulnya trace system dan tidak ada unsur problem solving.

2. Metode Membaca Global
          Menggunakan dasar psikologi ilmu Jiwa Gestalt. Metode membaca global dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Di Indonesia dikenal dengan metode S.A.S.
Jalan mengajarkannya:
a)      Pada permulaan sekali, anak telah dihadapkan pada ceritera pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Ceritera ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Maka dengan mudah anak itu segera dapat membaca seluruhnya secara hafalan. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan.
b)      Menguraikan ceritera pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Guru secara alamiah (natur) menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dai kalimat-kalimat. Misalnya dengan cara:
(1)   Kalimat yang satu dengan yang lain ditulis dengan warna yang berbeda.
(2)   Kalimat satu dengan yang lain ditulis dengan jarak yang cukup panjang.
Biasanya setelah 2/3 minggu murid telah dapat membedakan kalimat satu dengan yang lain. Murid telah “niteni” kalimat-kalimat.
c)      Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata
Dapat dengan berbagai cara, misal:
(1) Tiap-tiap kata ditulis agak warna yang berbeda-beda.
(2) Tiap-tiap kata ditulus agak berjauhan.
(3) Ditulis dengan susunan tiap kata semakin menurun.
(4)   Dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d)     Memisahkan kata-kata menjadi suku kata. Dapat dengan berbagai cara:
(1)   Tiap suku kata dengan warna yang berbeda.
(2)   Tiap suku kata ditulis diputus dengan batas strip.
(3)   Tiap suku kata ditulis agak jauh.
(4)   Tiap suku kata ditulis semakin menurun.
(5)   Tiap suku kata ditunjuk.
(6)   Tiap suku kata dibaca dengan tekanan.
Dalam periode tertentu, setelah murid mengerti suku kata, diteruskan
e)      Memisahkan suku kata menjadi huruf. Dapat dengan cara:
(1)   Tiap huruf ditulis dengan warna yang berbeda.
(2)   Tiap huruf ditulis terpisah.
(3)   Tiap huruf ditulis semakin menurun.
Dalam fase ini, barulah murid diajarkan bunyi tiap-tiap huruf (pertengahan tahun).
a.       Setelah murid mengenal huruf, diajarkan menyusun huruf menjadi suku kata.
b.      Menyusun kata menjadi suku kata.
c.       Menyusun kata menjadi kalimat.
Untuk melaksanakan proses menyusun kembali, dapat dilakukan dengan bermacam permainan yang menarik.

3. Kebaikan Metode Membaca Gestalt
a) Murid belajar secara alamiah, sesuai betul dengan prinsip-prinsip persepsi Ilmu Jiwa Gestalt
b) Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, karena dimulai dari ceritera dan kalimat-kalimat yang mengandung arti.
c) Dapat sesuai dengan tingkat perkembangan anak masing-masing. Tidak saling mengganggu, tergantung proses persepsinya masing-masing.
d) Lagu membacanya wajar, tidak tertegun-tegun. Sejak awal murid dilatih langsung membaca, tidak mengeja.
e) Murid membaca dengan mengerti isinya, sebab bahan bacaan mengandung arti.
f) Akhirnya murid lebih cepat menguasai membaca yang sebenarnya.

I. TOKOH-TOKOH TEORI GESTALT

1.    Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880. Ia mendapat gelar Ph.D nya di bawah bimbingan Oswald Kulpe. Antara tahun 1910-1916, ia bekerja di Universitas Frankfurt di mana ia bertemu dengan rekan-rekan pendiri aliran Gestalt yaitu, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Wolfgang Kohler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Tahun 1910 ia mengajar di Univeristy of Frankfurt bersama-sama dengan Kohler dan Koffka yang saat itu sudah menjadi asisten di sana. Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi.
       Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah ia melakukan suatu eksperimen dengan menggunakan sebuah alat yang bernama stroboskop, yaitu suatu kotak yang didalamnya terdapat dua buah garis yang satu tegak dan yang satu melintang. Jika kedua garis tersebut diperlihatkan secara bergantian terus menerus maka akan tampak seakan aska garis tersebut bergerak dari melintang menjadi tegak. Inilah yang disebut gerakan semu “Scheinbwegung”.

2.      Kurt Koffka (1886-1941)
Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908. Pada tahun 1910, ia bertemu dengan Wertheimer dan Kohler, bersama kedua orang ini Koffka mendirikan aliran psikologi Gestalt di Berlin. Sumbangan Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial. Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi Gestalt. Teorinya yang terkenal adalah Memory Trace (jejak ingatan).
3.    Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1908 di bawah bimbingan C. Stumpf di Berlin. Ia kemudian pergi ke Frankfurt. Saat bertugas sebagai asisten dari F. Schumman, ia bertemu dengan Wartheimer dan Koffka.
Ia mengadakan penyelidikan terhadap inteligensi kera. Hasil kajiannya ditulis dalam buku betajuk The Mentality of Apes (1925). Eksperimennya adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas sangkar. Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak berhasil. Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak, seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk dijadikan tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu. Hal ini menjadi kesimpulannya bahwa apabila organisme menghadapi suatu masalah atau problem maka akan terjadi ketidak seimbangan kognitif sampai masalah itu selesai.

4. Kurt Lewin (1890-1947)
Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology dari Kurt Lewin. Lewin adalah salah seorang ahli yang sangat kuat menganjurkan pemahaman tentang lapangan psikologis seseorang.
Lewin lahir di Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang psikologi tahun 1914. Ia banyak terlibat dengan pemikir Gestalt, yaitu Wertheimer dan Kohler dan mengambil konsep psychological field juga dari Gestalt. Pada saat Hitler berkuasa Lewin meninggalkan Jerman dan melanjutkan karirnya di Amerika Serikat. Ia menjadi professor di Cornell University dan menjadi Director of the Research Center for Group Dynamics di Massacusetts Institute of Technology (MIT) hingga akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Konsep utama Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adlaah meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas bagian-bagian memiliki batas-batas. Batas ini dapat dipahamis ebagai sebuah hambatan individu untuk mencapai tujuannya. Gerakan individu mencapai tujuan (goal) disebut locomotion.
Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong individu mendekati dan menjauhi tujuan. Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan (tension). Perilaku individu akan segera tertuju untuk meredakan ketegangan ini dan mengembalikan keseimbangan.
Apabila individu menghadapi suatu obyek, maka bagaimana valensi dari nilai tersebut bagi si individu akan menentukan gerakan individu. Pada umumnnya individu akan mendekati obyek yang bervalensi positif dan menjauhi obyek yang bervalensi negatif. Dalam usahanya mendekati obyek bervalensi positif, sangat mungkin ada hambatan. Hambatan ini mungkin sekali menjadi obyek yang bervalensi negatif bagi individu. Arah individu mendekati/menjauhi tujuan disebut vektor. Vektor juga memiliki kekuatan dan titik awal berangkat.
Dengan konsep vektor, daya, dan valensi ini Lewin menjelaskan teorinya mengenai tiga jenis konflik (approach-approach, approach-avoidance, dan avoidance-avoidance). Aplikasi teori Lewin banyak dilakukan dalam konteks dinamika kelompok. Dasar berpikirnya adalah kelompok dianalogikan dengan individu. Maka perilaku kelompok menjadi fungsi dari lingkungan, dimana salah satu faktornya adalah para anggota kelompok dan hubungan interpersonal mereka. Apabila hubungan ini bervalensi negatif, maka perilaku anggota akan menjauhinya dan dengan demikian tujuan kelompok semakin tidak tercapai. Sebaliknya, hubungan yang baik akan membuat anggota saling mendekati sehingga memungkinkan kerjasama yang lebih baik dalam mencapai tujuan kelompok.
Kritik untuk teori Lewin berfokus pada konstruk-konstruknya yang dianggap hipotetis dan sulit dikongkritkan dalam situasi eksperimental. Implikasinya adalah penjelasan Lewin sulit sampai pada level explanatory dan sifatnya deskriptif.

5.Von Ehrenfels, sebagai perintis teori Gestalt
Aliran ini menekankan pentingnya keseluruhan yaitu sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya dan timbul lebih dulu dari pada bagian-bagiannya. Pengikut-pengikut aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi aliran-aliran lain. Bagi yang mengikuti aliran Gestalt perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer ialah keseluruhan, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder; bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain; keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Contohnya kalau kita bertemu dengan seorang teman misalnya, dari kejahuan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru, melainkan teman kita itu secara keseluruhan selanjutnya baru kemudian kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu misalnya baju yang baru.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Teori gestalt muncul karena tokoh-tokoh seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Untuk mendukung teori gestalt para tokoh melakukan percobaan, salah satunya adalah kohler, yaitu melakukan percobaan dengan simpanse.
            Dalam teori gestalt, ada istilah insight, yaitu secara sederhana bisa dikatakan dengan pemahaman akan sesuatu. Insight ini banyak manfaatnya, baik membantu pembelajaran, proses pembelajaran, maupun membantu dalam bidang pendidikan.
Pokok dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pemikiran adalah usaha usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang teroganisir berdasarkan sifat sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah pisah.
Selain itu, prinsip-prinsip teori gestalt yaitu figure-ground relationship, prinsip similiarity, prinsip proximity, prinsip inclusiveness, prinsip commonfate, dan prinsip closure. Hukum-hukum gestalt yaitu hukum pragnaz, hukum kesamaan, hukum keterdekatan , hukum ketertutupan , hukum kontinuitas.
Aplikasi teori gestalt dalam proses pembelajaran yaitu pengalaman tilikan (insight), pembelajaran yang bermakna, perilaku bertujuan , prinsip ruang hidup, transfer dalam belajar. Aplikasi dalam pendidikan dan pengajaran dalam bidang kurikulum, dan dalam bidang didaktik metodik

B.       Saran
Sebagai calon guru SD mahasiswa perlu mengetahui teori Gestalt. Teori Gestalt ini sangat bermanfaat dalam pendidikan maupun pengajaran. Mahasiswa harus memahami betul teori Gestalt ini sebelum diterapkan di dunia pendidikan, di Sekolah Dasar khususnya. Jika perlu, dilakukan pengembangan-pengembangan agar pembelajaran di SD dapat berjalan denga lebih baik.



 
DAFTAR PUSTAKA


Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta







Posting Komentar

0 Komentar