MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL
PANCASILA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Drs. T. Sulistyono,
M.Pd., MM
Oleh
:
Rizqi
Munandar 10108241082
Arif
Nur Hidayat 10108241083
Fredy Purnomo Aji 10108241094
Oktaviani Budi U 10108241110
Gita
Enggar S 10108241112
Kelas 6C
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Makalah
berjudul “FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL PANCASILA” ini menguraikan tentang
filsafat yang mendasari; ontologi filsafat Pancasila, Epistemologi Pancasila,
Aksiologi filsafat Pancasila, pandangan filsafat Pancasila terhadap etika, dan
implikasinya dalam pendidikan.
Materi
yang disampaikan disusun dengan merujuk
pada buku referensi dan penelusuran bahan dari
internet.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penyusun
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. T. Sulistyono, M.Pd, MM, selaku dosen mata kuliah Pengantar
Filsafat
Pendidikan yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi dalam
penyusunan makalah ini.
2. Semua pihak yang terkait yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu kami dalam kelancaran
pembuatan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini mempunyai berbagai
kekurangan dalam penyampaiannya. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
memberi tambahan wawasan kepada pembaca. Aamiin.
Yogyakarta, April 2013
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul .................................................................................................................. i
Kata
Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Tujuan
Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pancasila sebagai sistem filsafat.......................................................... 3
B. Filsafat yang mendasari....................................................................... 4
1. Dasar Ontologis sila-sila Pancasila................................................ 4
2. Dasar Epistemologis sila-sila Pancasila.......................................... 6
3. Aksiologis Filsafat Pancasila......................................................... 9
C. Pandangan filsafat pendidikan nasional Pancasila
terhadap etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia........................................................................... 17
D. Implikasi terhadap pendidikan.......................................................... 18
BAB III ........ PENUTUP............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Akan tetapi, kemajemukan itu justru
menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia dimana ia merupakan
sebuah kekayaan tersendiri yang tak ternilai harganya. Banyak terdapat suku,
ras, budaya, agama, dll di Indonesia yang kesemuanya itu menunjukan betapa
kompleksnya negara Indonesia. Namun, seluruh rakyat Indonesia dapat disatukan
dalam suatu cita-cita besar yang tertuang dalam Pancasila.
Pancasila
merupakan salah satu pemersatu bangsa karena di dalamnya termuat berbagai
nilai-nilai luhur yang menjadi cita-cita utama bagi terbangunnya bangsa yang
utuh. Setiap sila dari ke lima sila dalam Pancasila saling melengkapi satu sama
lain yang membentuk suatu kekuatan kukuh bagi bangsa. Oleh karena itu sudah
sepantasnya kita membudidayakan berbagai nilai-nilai luhur yang terdapat di
dalamnya.
Nilai
dasar Pancasila membutuhkan definisi dan analisis yang terus dikembangkan
sesuai perkembangan zaman karena perbedaan situasi yang sangat berbeda dari
masa lalu. Pancasila bersifat terbuka yang berarti memberikan kesempatan pada
setiap generasi Indonesia untuk menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan masa kini. Ideologi Pancasila
memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas yang membuka dirinya untuk
diinterpretasikan kembali sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat.
Pancasila adalah ideologi yang fleksibel, ia terbuka dengan perubahan jaman dan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut tanpa kehilangan
identitas/jati dirinya.
Ditetapkannya
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, mengandung tanggung jawab
sekaligus penyerahan jalannya kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat
kepada Pancasila. Ideologi Pancasila memberikan pedoman dan tuntunan bagaimana
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan. Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah seharusnya berorientasikan pada
sebuah ideologi. Hal ini disebabkan setiap proses interaksi yang terjadi di
lingkungan plural dan heterogen bangsa Indonesia membutuhkan sebuah pedoman
yang disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik yang
berdasarkan pluralitas dan heterogenitas dapat diminimalisir. Nilai-nilai dalam
ideologi Pancasila diharapkan mampu mengkonstruksikan struktur sosial yang
memiliki visi kebangsaan yang seragam meski berakar dari heterogenitas latar
belakang dan kepentingan.
Sejatinya, terdapat korelasi logis antara ideologi Pancasila dengan
realitas sosial yang berkembang di masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu
yang berdiri sendiri lepas dari realitas hidup masyarakat. Ideologi merupakan
manifestasi dari keinginan dan cita-cita luhur masyarakat. Artinya, perumusan
ideologi (dalam hal ini Pancasila) seharusnya dimaknai dari adanya keinginan
dan cita-cita untuk memanifestasikan suatu struktur dan konstruksi masyarakat
yang diidealisasikan, sesuai dengan kondisinya. Ideologi seharusnya dipahami
bukan hanya sebagai pengetahuan teoritis semata, namun merupakan sesuatu yang
dihayati menjadi suatu keyakinan. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila merupakan
seperangkat nilai yang tidak hanya tersusun atas idealisasi gambaran masa depan
bangsa Indonesia, tetapi juga memuat perangkat nilai yang berakar pada realitas
empirik.
B.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
1. Mengetahui
ontologi filsafat Pancasila.
2. Mengetahui
epistemologi filsafat Pancasila.
3. Mengetahui
aksiologi filsafat Pancasila.
4. Implikasi
terhadap pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pancasila
sebagai Sistem Filsafat
Secara
etimologis, “filsafat” berasal dari bahasa Yunani phile yang berarti cinta dan sophia
yang berarti kebijaksanaan. Jadi
filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan
sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan secara
populer, filsafat dapat diartikan sebagai
suatu pendirian hidup (individu),
dan dapat juga disebut pandangan hidup
(masyarakat).
Uyoh Sadulloh
(2010:19) dalam bukunya Pengantar
Filsafat Pendidikan mengatakan
berfilsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai
kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar
dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat
manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang
pokok-pokok yang ditelaahnya.
Menurut Dr.I.R.J
Gred merumuskan filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari
prinsip-prinsip yang diketahui dengan kekuatan budi kodrati dengan mencari
sebab musababnya yang terdalam” (Elly M. Setiadi, 2005:147).
Elly M. Setiadi
(2005:147-152) menuliskan bahwa Pancasila memenuhi ciri-ciri sebagai filsafat.
Hal ini didasarkan beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila adalah
suatu filsafat. Sebagai contoh pendapat Muh. Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Muh.
Yamin menyebutkan:
“Ajaran
Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Hakikat
filsafat Friedrich Hegel (1770-1831) ialah sintesis pikiran lahir dari
antitesis pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah perpaduan pendapat yang
harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula dengan ajaran Pancasila, satu
sintesis negara yang lahir dari satu antitesis. Dan kemerdekaan itu kita susun
menurut ajaran filsafat Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam mukadimah
konstitusi 1945 itu yang berbunyi: ‘Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan
kami itu
dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk
republik kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila, di sini disebutkan sila yang
kelima untuk mewujudkan kebahagian, kesejahteraan, perdamaian dunia, dan
kemerdekaa.’ Jadi, sejajar dengan tinjauan pikiran Hegel beralasanlah pendapat
bahwa ajaran Pancasila itu adalah suatun sistem filsafat, sesuai dengan Neo
Hegelian. Kelima sila itu tersusun dalam suatu perumusan pikiran-pikiran
filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno ini
sesuai pula dengan pandangan hidup Neo hegelian.”
B.
Filsafat
yang mendasari
1.
Dasar
Ontologis Sila-sila Pancasila
Pancasila yang terdiri
atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri
sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis
Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat
dasar ini juga disebut sebagai dasar
antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia,
hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa yang berketuhanan yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradap, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Manusia sebagai
pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat
raga (jasmani) dan jiwa (rohani), sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi diri sendiri dan sebagai dan sebagai makhluk Tuhan
inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan
yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang
lainnya.
Hubungan kesesuaian
antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan
sebat-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan Tuhan, manusia, satu,
rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila
yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara
adalah sebagai akibat.
Sila pertama ketuhanan
yang maha esa mendasari dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada hakikat bahwa pendukung
pokok negara adalah manusia, karena negara adalah sebagai lembaga hidup bersama
sebagai lembaga kemanusiaan dan manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang maha
esa, sehingga adanya manusia sebagai akibat adanya Tuhan yang maha esa sebagai
kausa prima. Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, adanya Tuhan adalah
mutlak, sempurna dan kuasa, tidak berubah, tidak terbatas serta pula sebagai pengatur tata tertib
alam.
Menurut Notonegoro (Kaelan, 2004), hakikat
sila kedua dapat dijelaskan sebagai berikut: negara adalah lembaga kemanusiaan,
yang diadakan oleh manusia. Manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok
negara. Negara dari, olrh dan untuk manusia oleh karena itu terhadap hubungan
sebab dan akibat yang langsung antara negara dengan manusia. Adapun manusia
adalah makhluk Tuhan yang maha esa sehingga sila kedua didasari dan dijiwai
oleh sila pertama. Sila kedua mendasari dan menjwai sila ketiga (persatuan
Indonesia), sila keempat (kerakyatan) serta sila kelima (keadilan sosial).
Hakikat sila ketiga
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut hakikat persatuan didasari dan
dijiwai oleh sila ketuhanan dan kemanusiaan, bahwa manusia sebagai makhluk
Tuhan yang maha esa yang pertama harus direalisasikan adalah mewujudkan suatu
persatuan dalam suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Maka pada
hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, oleh karena itu
persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha
esa, adapun hasil persatuan di antara individu-individu, pribadi-pribadi dalam
suatu wilayah tertentu disebut sebagai rakyat sehingga rakyat adalah merupakan unsur pokok negara. Persekutuan hidup bersama
manusia dalam rangka untuk mewujudkan suatu tujuan bersama yaitu keadilan dalam
kehidupan bersama sehingga sila ketiga mendasari dan menjiwai sila keempat dan
sila kelima Pancasila.
Sila keempat adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
persyuwaratan/perwakilan. Makna pokok sila keempat adalah kerakyatan yaitu
kesesuaiannya dengan hakikat rakyat. Sila keempat ini didasar dan dijiwai oleh
siala ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan dan persatuan. Secara ontologis
adanya rakyat adalah ditentukan dan sebagai akibat adanya manusia sebagai manusia
makhluk Tuhan yang maha esa yang menyatukan diri dalam suatu wilayah negara
tertentu.
Sila kelima keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna pokok keadilan yaitu
hakikatnya kesesuaian dengan hakikat adil. Berbeda dengan sila-sila lainnya
maka sila kelima ini didasari dan dijiwai oleh keempat sila lainnya: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan. Hakikat makna keadilan adalah sebagai
akibatnya adanya negara kebangsaan dari manusia-manusia yang berketuhanan yang
maha esa. Secara ontologis hakikat keadilan sosial juga ditentukan adanya
hakikat keadilan sebagaimana terkanding dalam sila kedua. Menurut Notonegoro
(Kaelan, 2007) hakikat keadilan yang terkandung dalam sila kedua yaitu keadilan
yang terkandung dalam hakikat manusia monopluralis, yaitu kemanusiaan yang adil
tehadap diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan atau kausa prima.
Penjelmaan dari keadilan kemanusiaan monopluralis tersebut dalam bidang
kehidupan bersama baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, negara dan kehidupan
antar bangsa yaitu menyangkut sifat kodrat manusia sebagai makhluk dan makhluk
sosial yaitu dalam wujud keadilan dalam hidup bersama atau keadilan sosial.
Dengan demikian logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua
yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.
Dasar Epistemologis Sila-sila
Pancasila
a. Epistemologi
Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam
kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa
Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa
dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam
pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau
keyakinan-keyakinan (belief-system)
yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup
manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini
berarti filsfat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1986).
Sebagai suatu ideologi maka
Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari
pendukungnya yaitu:
1)
Logos, yaitu rasionalitas atau
penalaran
2)
Pathos,yaitu penghayatan
3)
Ethos, yaitu kesusilaan. (Wibisono,
1996).
Sebagai suatu sistem filsafat serta
ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam
kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai
suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila.
(Soeryanto, 1991). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat
dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia
merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai
implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang
ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996).
Terdapat tiga persoalan yang
mendasar dalam epistemologi yaitu:
1)
Tentang
sumber pengetahuan manusia
2)
Tentang
kebenaran pengetahuan manusia
3)
Tentang
watak pengetahuan manusia (Titus, 1984).
Pancasila sebagai suatu objek
pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan
susunan pengetahuan Pancasila.
a.
Sumber
Pengetahuan Pancasila
Sebagaimana dipahami bersama
bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain. Bukan hanya merupakan
perenungan serta pemikiran seseoran atau beberapa orang saja namun dirumuskan
oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. dengan kata lain
bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.
Oleh karena sumber pengetahuan
Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai
adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religious maka diantara bangsa
Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri
sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian
yang bersifat korespondensi.
b.
Susunan
Pengetahuan Pancasila
Sebagai suatu sistem pengetahuan
maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti
susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan
kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal,
dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta
sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga,
keempat dan kelima. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua
serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima. Sila keempat
didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan
menjiwai sila kelima. Adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila
pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Pembahasan selanjutnya adalah
pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka
bahwa masalah epistemologi manusia diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat
manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat
manusia monopluralis merupakan dasar
pijak epistemologi Pancasila.
Menurut Pancasila bahwa hakikat
manusia adalah monopluralis yitu
hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani).
Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rohani)
manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu: akal, rasa, dan kehendak.
Pancasila juga mengakui kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya
kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai
dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi.
Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang
harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak
manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak.
Selain itu dalam sila ketiga yaitu
Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta sila kelima Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui
kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Adapun sesuai dengan tingkatan
sila-sila Pancasila yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal maka
kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat
manusia yang bersumber pada kehendak. Sebagai suatu paham epistemologi maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya
tidak bebs nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas religious
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.
3. Aksiologi
Filsafat Pancasila
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu
sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang
filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat Pancasila, terdapat
tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1)
Nilai-nilai dasar dari Pancasila
adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan,
dan nilai keadilan.
2)
Nilai instrumental, adalah nilai
yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan
terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3)
Nilai praktis, adalah nilai yang
sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian
apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk
nilai etik atau nilai moral yang merupakan nilai dasar yang mendasari nilai
intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia
merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila),
yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian,
jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi
Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya.
Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
1)
Tuhan yang Maha Esa sebagai maha
sumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antar hubungannya,
termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara
psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan
waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian
semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan
kelestarian hidup.
2) Subyek
manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan
Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan
paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
3) Nilai-nilai
dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan
yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta
dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam
antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri
(kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada
keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai.
Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang
membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
4) Manusia
dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan
berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang
bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama
sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual
maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from
something to be something else, God created everything from nothing to be
everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama
Allah.
5) Martabat
kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat
manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus
dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan
bagi sesama.
6) Manusia
dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga
memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat
metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang
luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang
unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan.
Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya –
melalui sikap dan karyanya.
7) Manusia
sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat
kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam
aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
8) Eksistensi
fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam
dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai
ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antar hubungan sosial
manusia meliputi:
1)
hubungan sosial-horisontal, yakni
antarhubungan pribadi manusia dalam antarhubungan dan antar aksinya hingga yang
terluas yaitu hubungan antar bangsa.
2)
hubungan sosial-vertikal antara
pribadi manusia dengan Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan dan agama
masing-masing.
Seluruh kesadaran manusia tentang
nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan
bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi juga adanya potensi
intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal
budi dan nurani manusia yang berupa kebajikan. Azas dan usaha manusia guna
semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama.
Nilai cinta inilah yang menjadi
sumber energi untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas
normatif ini bersifat ontologis pula karena sifat dan potensi pribadi manusia
berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self,
bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan
teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang
disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan
manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak
pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi
dengan sesama dan dengan Tuhan yang maha Esa. Dengan perkataan lain,
kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah
kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan
dan sesamanya.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila
memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk
menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun
dilematika moral.
Berdasarkan
azas-azas dan kriteria filosofis, sistem filsafat Pancasila memiliki kriteria
dan sifat-sifat universal dan memiliki ciri-ciri khas nasional sebagai berikut;
1) Sistematis,
fundamental, universal, integral dan radikal mencari kebenaran yang hakiki
2) Filsafat
yang monotheis dan religius yang mempercayai adanya sumber kesemestaan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
3) Monodualisme
dan monopluralisme atau integralistik yang mengutamakan ketuhanan, kesatuan dan
kekeluargaan.
4) Satu
kesatuan totalitas yang bulat dan utuh antar sila-sila Pancasila.
5) Memiliki
corak universal, terutama sila I dan sila II serta corak nasional Indonesia terutama
sila III, IV, dan V.
6) Idealisme
fungsional (dasar dan fungsi serta tujuan idiil sekaligus)
7) Harmoni
idiil (asas selaras, serasi, dan seimbang)
8) Memiliki
ciri-ciri dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas.
C. Pandangan Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila
terhadap Etika dalam kehidupan berbangsa dan Bernegara Indonesia
1. Pengertian Etika
Etika
berasal dari bahasa Yunani, dari kata “etos”, “etikos” yang artinya “adat
kebiasaan” yakni perilaku yang dilakukan terus- menerus, yang kemudian diberi
nilai: baik, buruk, boleh dan tidak, pantas maupun tidak pantas.
Dalam
filsafat, Etika adalah suatu pemikiran kritis dan ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita
bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Kedua kelompok etika yaitu, Etika Umum dan Etika Khusus.
1) Etika Umum,
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
Pemikiran etika beragam, tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari
tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung
didalamnya.
2) Etika khusus,
membahas prinsip-prinsip tersebut diatas dalam hubungannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun makhluk sosial .
2. Pancasila sebagai Sumber Etika
Pancasila
adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang
sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah “Pancasila
sebagai suatu sistem etika”.
Di
dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang
memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang
dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila memegang peranan besar dalam
membentuk pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai
salah satu bangsa yang beradab didunia.Kecenderungan menganggap hal yang tak
penting akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa
yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukanlah hal yang
mudah, karena berasal dari tingkah laku dan hati nurani.
Pancasila
didalamnya terkandung berbagai nilai-nilai yang universal dan tercermin di
setiap sila-sila yang ada kemudian diimplementasikan dalam masyarakat dalam
bentuk norma-norma. Norma-norma tersebut yang mengatur setiap tingkah laku
seseorang dalam berperilaku.Segala hal yang baik dan tidak baik akan diatur
dengan tegas didalam norma-norma tersebut. Jika tidak mematuhi suatu norma yang
berlaku maka akan dipastikan dikenakan sanksi yang mengikat. Sehingga suatu
negara akan menjadi negara yang beradab jika di dalamnya masyarakatnya mampu
beretika dengan baik. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil
dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun
etika bangsa ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan
azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan.
Pancasila
merupakan suatu sistem etika. Etika itu berasal dari kandungan sila-sila
pancasila yang mengandung nilai-nilai yang universal. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV
pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal
yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan
arti.Tepat 64 tahun usia Pancasila, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia
kembali menyelami kandungan nilai-nilai luhur tersebut.
Nilai religious
adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang
dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan
sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni
membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk
mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut
pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah
negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan
beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula,
bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang
beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama,.
Adalah
pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab
setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia
yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima
kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola
kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kesadaran
inilah yang menjadi semangat membangun kehidupan masyarakat dan alam semesta
untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih, serta dapat diimplementasikan
dalam bentuk sikap hidup yang harmoni penuh toleransi dan damai.
Persatuan
adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan
bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir
untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai
Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan
sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih
objektif dari dunia luar. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dalam
proses sejarah perjuangan panjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku
bangsa, namun perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru
dijadikan persatuan Indonesia.
Sebagai makhluk
sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain, dalam
interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama
lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang
menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan
potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan
diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk
menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmah kebijaksanaan adalah kondisi
sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih tinggi sebagai
bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan
aliran tertentu yang sempit.
Nilai keadilan
adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan,
keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Itu
semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik,
dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan
berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Segala usaha diarahkan
kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat,
sehingga kesejahteraan tercapai secara merata.
Dari
nilai-nillai yang terkandung inilah sebuah etika akan disajikan dengan baik
dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat. Kaitannya dengan
pendidikan nasional Indonesia, Pancasila adalah sebagai dasar dari pendidikan
nasional berupa pendidikan yang humanis dan religius. Keduanya merupakan bentuk
terikat suatu pelaksanaan dari etika yang sumbernya merupakan nilai-nilai yang
terwujud dari sila-sila pancasila.
D.
Implikasi
terhadap Pendidikan
Pancasila
sebagai sistem filsafat, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia sebagai
pandangan hidup. Dengan demikian, pancasila harus dijadikan pedoman dalam
kelakuan dan pergaulan sehari-hari. Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden
Soekarno, Pancasila pada hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat
istiadat, dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Cara kerja dan
hasil filsafat Pancasila dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan
kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan
tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan.
Pendidikan membutuhkan filsafat Pancasila. Mengapa pendidikan membutuhkan
filsafat Pancasila? Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut
pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan
akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks.
Pancasila yang
ditetapkan oleh para pendiri negara memuat nilai-nilai luhur dan mendalam, yang
menjadi pandangan hidup dan dasar negara. Nilai-nilai dalam pancasila dapat
digunakan menjadi dasar dalam mengembangkan dan melaksanakan pendidikan.
Filsafat Pancasila diimplikasikan dalam pendidikan dapat memberikan pedoman
kepada para perencana pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan. Pendidikan yang berdasarkan pada Pancasila dapat mencapai tujuan
pendidikan yang sesuai dengan
kepribadian bangsa. Misalkan kita memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa Aktif”. Dapat kita
kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang falsafah
Pancasila.
Implikasi
filsafat Pancasila ini berpengaruh di kurikulum pendidikan di Indonesia. Di
pendidikan sekolah dasar, filsafat Pancasila disederhanakan dalam mata
pelajaran khususnya pendidikan kewarganegaraan. Namun dengan adanya pendidikan
karakter yang diusung oleh Pemerintah, maka mendukung Pancasila sebagai dasar
dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
1. Tujuan
Pendidikan
Pandangan Panasila tentang hakikat realitas,
manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan
seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap,kreatif,mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggu jawab. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU RI No.
20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan tersebut
hendaknya kita sadari betul,sehingga pendidikan yang kita selenggarakan bukan
hanya untuk mengembangkan salah satu potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang berilmu saja, bukan hanya untuk terampil bekerja saja, dsb, melainkan demi
berkembangnya seluruh potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi
kehidupannya secara integral.
2. Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum pendidikan, melaksanakan kurikulum
yang komprehensif, memadukan antara teori dan praktek. Wawasan kurikulum yang
dikembangkan adalah: (1) Wawasan budaya bangsa berdasar pada kondisi
sosio-budaya masyarakat dan negara Indonesia, (2) Wawasan ideologi dan
pandangan hidup Pancasila, (3) Wawasan kemajuan Ilmu dan Teknologi, (4) Wawasan
religius dan keimanan, (5) Wawasan Pembangunan Nasional, (6) Wawasan ketahanan
bangsa, (7) Proses belajar dan mengajar, mengembangkan proses komunikasi
diagonal (interaksi aktif). Mengembangkan Cara Belajar Siswa Aktif.
3. Metode
Pendidikan
Pemilihan dan aplikasi metode pendidikan
hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai, hakikat manusia atau peserta didik, karakteristik isi/materi
pendidikan, fasilitas alat Bantu pendidikan yang tersedia. Penggunaan metode
pendidikan diharapkan memperhatikan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dan
sebagainya bersifat multi metode.
4. Peranan
Pendidik dan Peserta Didik
Ada berbagai peranan dan peserta didik yang
harus dilaksanakannya, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat
dan tersirat dalam semboyan:”ing ngarso sung tulodo” artinya pendidik
harus memberikan atau menjadi teladan bagi peserta didiknya;’ing madya
mangun karso”, artinya pendidik harus mampu membangun karsa pda
diri peserta didiknya; dan “tut wuri handayani”artinya bahwa sepanjang
tidak berbahaya pendidik harus memberi kebebasan atau kesempatan kepada peserta
didik untuk belajar mandiri. Hakekat anak didik adalah bertanggung jawab atas
pendidikannya sendiri selaras dengan wawasan pendidikan sepanjang haya. Hakekat
guru sebagai pendidik adalah agen perubahan, berfungsi sebagai pemimpin dan
pendukung serta pengembang nilai-nilai hidup di masyarakat, sebagai fasilitator
dan bertanggung jawab atas tujuan belajar.
5. Orientasi
Pendidikan
Pendidikan memiliki dua fungsi utama, yaitu
fungsi konservasi dan fungsi kreasi. Fungsi konservasi dilandasi asumsi bahwa
terdapat nilai-nilai,penetahuan,norma,kebiasaan, dsb. Yang dijingjung tinggi
dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan. Contoh:pengetahuan dan
nilai-nilai yang bersifat mutlak tentunya tetap harus dipertahannkan, demikian
jugapengetahuan dan nilai-nilai budaya yang masih dipandang benar dan baik juga
perlu dikonsrvasi. Adapun fungsi kreasi dilandasi asumsi bahwa realitas
tidaklah bersifat terberi (given) dan telah selesai sebagaimana
diajarkan oleh sains modern.Tetapi realitas “mewujud” sebagaimana kita manusia
dan semua anggota alam semesta berpartisipasi dalam mewujukan realitas. Sebab
itu, peran manusia baik sebagai individu maupun kelompok adalah merajur
realitas yang diinginkannya yang dapat diterima oleh lingkunganya. Dalam hal
ini hakikat pendidikan seyogyanya diletakkan pada upay-upaya untuk menggali dan
mengembangkan potensi para pelajar agar mereka tidak saja mampu memeahami
perubahan tetapi mampu berperan sebagai agen perubahan atau perajut realitas (
A. Mappadjantji Amien,2005).Perubahan merupakan suatu keharusan atau kenyataan
yang tidak dapat kita tolak, sehingga para peserta didik harus dididik untuk
menguasainya dan bukan sebaliknya, mereka ,menjadi dikuasai oleh perubahan.
6. Fungsi
pendidikan nasional Indonesia
Fungsi pendidikan nasionalIndonesiaadalah untuk
mengembangkan warga negaraIndonesia, baik sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat, mengembangkan bangsaIndonesiadan mengembangkan kebudayaan Indonesia
7. Unsur-unsur
pokok pendidikan nasional
Unsur-unsur pokok pendidikan nasional adalah
pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan kepribadian,
pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan kesenian,
pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan kewarganegaraan
dan pendidikan kesadaran bersejarah.
8. Asas-asas
pelaksanaan pendidikan nasional
Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional
Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas tanggung
jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan dengan
ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas
keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pancasila
sebagai sistem filsafat memiliki dasar-dasar filsafat:
1. Filsafat
ontologis
2. Filsafat
epistemologis
3. Filsafat
aksiologis
Setiap sila-sila
Pancasila didasari oleh filsafat ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Pancasila di Indonesia digunakan sebagai landasan filsafat Pendidikan Nasional.
Oleh karena itu,
Pancasila mempunyai pandangan terhadap etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. Hal ini berimplikasi kepada pendidikan di Indonesia.
Implikasi itu terdapat di kurikulum Indonesia yang mencakup kegiatan
pembelajaran di Indonesia.
B. Saran
Pancasila menjadi dasar filsafat Pendidikan Nasional
Indonesia. Oleh karena itu, jika Pancasila hendaknya diterapkan dalam seluruh
lini kehidupan agar kelima sila Pancasila dapat tertanam sanubari bangsa
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Elly.
M. Setiadi. 2005. Panduan Kuliah
Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma
Kaelan. 2010. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paragdima Yogyakarta.
Uyoh Sadulloh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
http://ruhcitra.wordpress.com/2008/12/16/pancasila-sebagai-sistem-filsafat/,
didownload
tanggal 20 April 2013, pukul 19.43
http://orathforever.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-pancasila-ontologis.html,
didownload
tanggal 19 April 2013, pukul 05.43
noviariansyah.wordpress.com/2011/06/17/filsafatpendidikannasionalpancasila,
didownload
tanggal 21 April 2013, pukul 20.03
0 Komentar