Advertisement

Main Ad

VI Pengantar Filsafat Pendidikan - Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila

MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL PANCASILA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Drs. T. Sulistyono, M.Pd., MM

logo_uny

Oleh : 
Rizqi Munandar          10108241082
Arif Nur Hidayat        10108241083
Fredy Purnomo Aji     10108241094
Oktaviani Budi U       10108241110
Gita Enggar S             10108241112
Kelas 6C

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
           
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Makalah berjudul FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL PANCASILA ini menguraikan tentang filsafat yang mendasari; ontologi filsafat Pancasila, Epistemologi Pancasila, Aksiologi filsafat Pancasila, pandangan filsafat Pancasila terhadap etika, dan implikasinya dalam pendidikan. Materi yang disampaikan disusun dengan merujuk pada buku referensi dan penelusuran bahan dari internet.
            Dalam penyusunan makalah ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Drs. T. Sulistyono, M.Pd, MM, selaku dosen mata kuliah Pengantar Filsafat Pendidikan yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan makalah ini.
2.      Semua pihak yang terkait yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini mempunyai berbagai kekurangan dalam penyampaiannya. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberi tambahan wawasan kepada pembaca. Aamiin.


Yogyakarta, April 2013


DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................................  i
Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
BAB I             PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B.     Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II                        PEMBAHASAN
A.    Pancasila sebagai sistem filsafat.......................................................... 3
B.     Filsafat yang mendasari....................................................................... 4
1.      Dasar Ontologis sila-sila Pancasila................................................ 4
2.      Dasar Epistemologis sila-sila Pancasila.......................................... 6
3.      Aksiologis Filsafat Pancasila......................................................... 9
C.     Pandangan filsafat pendidikan nasional Pancasila terhadap etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia........................................................................... 17
D.    Implikasi terhadap pendidikan.......................................................... 18
BAB III ........ PENUTUP............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

                                                              BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Akan tetapi, kemajemukan itu justru menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia dimana ia merupakan sebuah kekayaan tersendiri yang tak ternilai harganya. Banyak terdapat suku, ras, budaya, agama, dll di Indonesia yang kesemuanya itu menunjukan betapa kompleksnya negara Indonesia. Namun, seluruh rakyat Indonesia dapat disatukan dalam suatu cita-cita besar yang tertuang dalam Pancasila.
Pancasila merupakan salah satu pemersatu bangsa karena di dalamnya termuat berbagai nilai-nilai luhur yang menjadi cita-cita utama bagi terbangunnya bangsa yang utuh. Setiap sila dari ke lima sila dalam Pancasila saling melengkapi satu sama lain yang membentuk suatu kekuatan kukuh bagi bangsa. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita membudidayakan berbagai nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya.
Nilai dasar Pancasila membutuhkan definisi dan analisis yang terus dikembangkan sesuai perkembangan zaman karena perbedaan situasi yang sangat berbeda dari masa lalu. Pancasila bersifat terbuka yang berarti memberikan kesempatan pada setiap generasi Indonesia untuk menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila terhadap nilai-nilai kehidupan masa kini. Ideologi Pancasila memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas yang membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Pancasila adalah ideologi yang fleksibel, ia terbuka dengan perubahan jaman dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut tanpa kehilangan identitas/jati dirinya.
Ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, mengandung tanggung jawab sekaligus penyerahan jalannya kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kepada Pancasila. Ideologi Pancasila memberikan pedoman dan tuntunan bagaimana kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah seharusnya berorientasikan pada sebuah ideologi. Hal ini disebabkan setiap proses interaksi yang terjadi di lingkungan plural dan heterogen bangsa Indonesia membutuhkan sebuah pedoman yang disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik yang berdasarkan pluralitas dan heterogenitas dapat diminimalisir. Nilai-nilai dalam ideologi Pancasila diharapkan mampu mengkonstruksikan struktur sosial yang memiliki visi kebangsaan yang seragam meski berakar dari heterogenitas latar belakang dan kepentingan.
Sejatinya, terdapat korelasi logis antara ideologi Pancasila dengan realitas sosial yang berkembang di masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari realitas hidup masyarakat. Ideologi merupakan manifestasi dari keinginan dan cita-cita luhur masyarakat. Artinya, perumusan ideologi (dalam hal ini Pancasila) seharusnya dimaknai dari adanya keinginan dan cita-cita untuk memanifestasikan suatu struktur dan konstruksi masyarakat yang diidealisasikan, sesuai dengan kondisinya. Ideologi seharusnya dipahami bukan hanya sebagai pengetahuan teoritis semata, namun merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila merupakan seperangkat nilai yang tidak hanya tersusun atas idealisasi gambaran masa depan bangsa Indonesia, tetapi juga memuat perangkat nilai yang berakar pada realitas empirik.
B.     Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
1.      Mengetahui ontologi filsafat Pancasila.
2.      Mengetahui epistemologi filsafat Pancasila.
3.      Mengetahui aksiologi filsafat Pancasila.
4.      Implikasi terhadap pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Secara etimologis, “filsafat” berasal dari bahasa Yunani phile yang berarti cinta dan sophia  yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan secara populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat).
Uyoh Sadulloh (2010:19) dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan  mengatakan berfilsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok yang ditelaahnya.
Menurut Dr.I.R.J Gred merumuskan filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip yang diketahui dengan kekuatan budi kodrati dengan mencari sebab musababnya yang terdalam” (Elly M. Setiadi, 2005:147).
Elly M. Setiadi (2005:147-152) menuliskan bahwa Pancasila memenuhi ciri-ciri sebagai filsafat. Hal ini didasarkan beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu filsafat. Sebagai contoh pendapat Muh. Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Muh. Yamin menyebutkan:
 “Ajaran Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Hakikat filsafat Friedrich Hegel (1770-1831) ialah sintesis pikiran lahir dari antitesis pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah perpaduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula dengan ajaran Pancasila, satu sintesis negara yang lahir dari satu antitesis. Dan kemerdekaan itu kita susun menurut ajaran filsafat Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam mukadimah konstitusi 1945 itu yang berbunyi: ‘Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu

 dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila, di sini disebutkan sila yang kelima untuk mewujudkan kebahagian, kesejahteraan, perdamaian dunia, dan kemerdekaa.’ Jadi, sejajar dengan tinjauan pikiran Hegel beralasanlah pendapat bahwa ajaran Pancasila itu adalah suatun sistem filsafat, sesuai dengan Neo Hegelian. Kelima sila itu tersusun dalam suatu perumusan pikiran-pikiran filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno ini sesuai pula dengan pandangan hidup Neo hegelian.”

B.     Filsafat yang mendasari
1.      Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila
Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa yang berketuhanan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradap, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga (jasmani)  dan jiwa (rohani), sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan  makhluk sosial, serta kedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri  dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi diri sendiri dan sebagai dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya.
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebat-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat.
Sila pertama ketuhanan yang maha esa mendasari dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada hakikat bahwa pendukung pokok negara adalah manusia, karena negara adalah sebagai lembaga hidup bersama sebagai lembaga kemanusiaan dan manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, sehingga adanya manusia sebagai akibat adanya Tuhan yang maha esa sebagai kausa prima. Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, adanya Tuhan adalah mutlak, sempurna dan kuasa, tidak berubah, tidak  terbatas serta pula sebagai pengatur tata tertib alam.
 Menurut Notonegoro (Kaelan, 2004), hakikat sila kedua dapat dijelaskan sebagai berikut: negara adalah lembaga kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia. Manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara. Negara dari, olrh dan untuk manusia oleh karena itu terhadap hubungan sebab dan akibat yang langsung antara negara dengan manusia. Adapun manusia adalah makhluk Tuhan yang maha esa sehingga sila kedua didasari dan dijiwai oleh sila pertama. Sila kedua mendasari dan menjwai sila ketiga (persatuan Indonesia), sila keempat (kerakyatan) serta sila kelima (keadilan sosial).
Hakikat sila ketiga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut hakikat persatuan didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan dan kemanusiaan, bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa yang pertama harus direalisasikan adalah mewujudkan suatu persatuan dalam suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, oleh karena itu persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa, adapun hasil persatuan di antara individu-individu, pribadi-pribadi dalam suatu wilayah tertentu disebut sebagai rakyat sehingga  rakyat adalah merupakan  unsur pokok negara. Persekutuan hidup bersama manusia dalam rangka untuk mewujudkan suatu tujuan bersama yaitu keadilan dalam kehidupan bersama sehingga sila ketiga mendasari dan menjiwai sila keempat dan sila kelima Pancasila.
Sila keempat adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persyuwaratan/perwakilan. Makna pokok sila keempat adalah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan hakikat rakyat. Sila keempat ini didasar dan dijiwai oleh siala ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan dan persatuan. Secara ontologis adanya rakyat adalah ditentukan dan sebagai akibat adanya manusia sebagai manusia makhluk Tuhan yang maha esa yang menyatukan diri dalam suatu wilayah negara tertentu.
Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna pokok keadilan yaitu hakikatnya kesesuaian dengan hakikat adil. Berbeda dengan sila-sila lainnya maka sila kelima ini didasari dan dijiwai oleh keempat sila lainnya: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan. Hakikat makna keadilan adalah sebagai akibatnya adanya negara kebangsaan dari manusia-manusia yang berketuhanan yang maha esa. Secara ontologis hakikat keadilan sosial juga ditentukan adanya hakikat keadilan sebagaimana terkanding dalam sila kedua. Menurut Notonegoro (Kaelan, 2007) hakikat keadilan yang terkandung dalam sila kedua yaitu keadilan yang terkandung dalam hakikat manusia monopluralis, yaitu kemanusiaan yang adil tehadap diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan atau kausa prima. Penjelmaan dari keadilan kemanusiaan monopluralis tersebut dalam bidang kehidupan bersama baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, negara dan kehidupan antar bangsa yaitu menyangkut sifat kodrat manusia sebagai makhluk dan makhluk sosial yaitu dalam wujud keadilan dalam hidup bersama atau keadilan sosial. Dengan demikian logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

2.      Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
a.      Epistemologi Filsafat Pancasila
            Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief-system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsfat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1986).
            Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu:
1)      Logos, yaitu rasionalitas atau penalaran
2)      Pathos,yaitu penghayatan
3)      Ethos, yaitu kesusilaan. (Wibisono, 1996).
            Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
            Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila. (Soeryanto, 1991). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996).
            Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu:
1)      Tentang sumber pengetahuan manusia
2)      Tentang kebenaran pengetahuan manusia
3)      Tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984).
            Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila.
a.       Sumber Pengetahuan Pancasila
Sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain. Bukan hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseoran atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. dengan kata lain bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.
Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religious maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
b.      Susunan Pengetahuan Pancasila
Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga, keempat dan kelima. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima. Adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.

            Pembahasan selanjutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemologi manusia diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila.
            Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu: akal, rasa, dan kehendak.  
            Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak.
            Selain itu dalam sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
            Adapun sesuai dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebs nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

3.      Aksiologi Filsafat Pancasila
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1)      Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
2)      Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3)      Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral yang merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
1)       Tuhan yang Maha Esa sebagai maha sumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antar hubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
2)       Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
3)       Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
4)       Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.
5)       Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
6)       Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
7)       Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
8)       Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antar hubungan sosial manusia meliputi:
1)              hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia dalam antarhubungan dan antar aksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antar bangsa.
2)              hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang Maha Esa menurut keyakinan dan agama masing-masing.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia yang berupa kebajikan. Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama.
Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang maha Esa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral.
Berdasarkan azas-azas dan kriteria filosofis, sistem filsafat Pancasila memiliki kriteria dan sifat-sifat universal dan memiliki ciri-ciri khas nasional sebagai berikut;
1)      Sistematis, fundamental, universal, integral dan radikal mencari kebenaran yang hakiki
2)      Filsafat yang monotheis dan religius yang mempercayai adanya sumber kesemestaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
3)      Monodualisme dan monopluralisme atau integralistik yang mengutamakan ketuhanan, kesatuan dan kekeluargaan.
4)      Satu kesatuan totalitas yang bulat dan utuh antar sila-sila Pancasila.
5)      Memiliki corak universal, terutama sila I dan sila II serta corak nasional Indonesia terutama sila III, IV, dan V.
6)      Idealisme fungsional (dasar dan fungsi serta tujuan idiil sekaligus)
7)      Harmoni idiil (asas selaras, serasi, dan seimbang)
8)      Memiliki ciri-ciri dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas.

C.    Pandangan Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila terhadap Etika dalam kehidupan berbangsa dan Bernegara Indonesia
1.      Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, dari kata “etos”, “etikos” yang artinya “adat kebiasaan” yakni perilaku yang dilakukan terus- menerus, yang kemudian diberi nilai: baik, buruk, boleh dan tidak, pantas maupun tidak pantas.
Dalam filsafat, Etika adalah suatu pemikiran kritis dan ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Kedua kelompok etika yaitu, Etika Umum dan Etika Khusus.
1)      Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Pemikiran etika beragam, tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung didalamnya.
2)      Etika khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut diatas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik  sebagai individu maupun makhluk sosial .
2.      Pancasila sebagai Sumber Etika
Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah “Pancasila sebagai suatu sistem etika”.
Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia.Kecenderungan menganggap hal yang tak penting akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukanlah hal yang mudah, karena berasal dari tingkah laku dan hati nurani.
Pancasila didalamnya terkandung berbagai nilai-nilai yang universal dan tercermin di setiap sila-sila yang ada kemudian diimplementasikan dalam masyarakat dalam bentuk norma-norma. Norma-norma tersebut yang mengatur setiap tingkah laku seseorang dalam berperilaku.Segala hal yang baik dan tidak baik akan diatur dengan tegas didalam norma-norma tersebut. Jika tidak mematuhi suatu norma yang berlaku maka akan dipastikan dikenakan sanksi yang mengikat. Sehingga suatu negara akan menjadi negara yang beradab jika di dalamnya masyarakatnya mampu beretika dengan baik. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.
Pancasila merupakan suatu sistem etika. Etika itu berasal dari kandungan sila-sila pancasila yang mengandung nilai-nilai yang universal. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti.Tepat 64 tahun usia Pancasila, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia kembali menyelami kandungan nilai-nilai luhur tersebut.
Nilai religious adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula, bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama,.
Adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kesadaran inilah yang menjadi semangat membangun kehidupan masyarakat dan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih, serta dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap hidup yang harmoni penuh toleransi dan damai.
Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dari dunia luar. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dalam proses sejarah perjuangan panjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku bangsa, namun perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia.
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmah kebijaksanaan adalah kondisi sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
e.      Keadilan Sosial
Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik, dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata.

Dari nilai-nillai yang terkandung inilah sebuah etika akan disajikan dengan baik dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat. Kaitannya dengan pendidikan nasional Indonesia, Pancasila adalah sebagai dasar dari pendidikan nasional berupa pendidikan yang humanis dan religius. Keduanya merupakan bentuk terikat suatu pelaksanaan dari etika yang sumbernya merupakan nilai-nilai yang terwujud dari sila-sila pancasila.

D.    Implikasi terhadap Pendidikan
Pancasila sebagai sistem filsafat, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, pancasila harus dijadikan pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari-hari. Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden Soekarno, Pancasila pada hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Cara kerja dan hasil filsafat Pancasila dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat Pancasila. Mengapa pendidikan membutuhkan filsafat Pancasila? Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks.
Pancasila yang ditetapkan oleh para pendiri negara memuat nilai-nilai luhur dan mendalam, yang menjadi pandangan hidup dan dasar negara. Nilai-nilai dalam pancasila dapat digunakan menjadi dasar dalam mengembangkan dan melaksanakan pendidikan. Filsafat Pancasila diimplikasikan dalam pendidikan dapat memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang berdasarkan pada Pancasila dapat mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan  kepribadian bangsa. Misalkan kita memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa Aktif”. Dapat kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang falsafah Pancasila.
Implikasi filsafat Pancasila ini berpengaruh di kurikulum pendidikan di Indonesia. Di pendidikan sekolah dasar, filsafat Pancasila disederhanakan dalam mata pelajaran khususnya pendidikan kewarganegaraan. Namun dengan adanya pendidikan karakter yang diusung oleh Pemerintah, maka mendukung Pancasila sebagai dasar dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

1.      Tujuan Pendidikan
Pandangan Panasila tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,kreatif,mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggu jawab. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan tersebut hendaknya kita sadari betul,sehingga pendidikan yang kita selenggarakan bukan hanya untuk mengembangkan salah satu potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu saja, bukan hanya untuk terampil bekerja saja, dsb, melainkan demi berkembangnya seluruh potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi kehidupannya secara integral.
2.      Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan, melaksanakan kurikulum yang komprehensif, memadukan antara teori dan praktek. Wawasan kurikulum yang dikembangkan adalah: (1) Wawasan budaya bangsa berdasar pada kondisi sosio-budaya masyarakat dan negara Indonesia, (2) Wawasan ideologi dan pandangan hidup Pancasila, (3) Wawasan kemajuan Ilmu dan Teknologi, (4) Wawasan religius dan keimanan, (5) Wawasan Pembangunan Nasional, (6) Wawasan ketahanan bangsa, (7) Proses belajar dan mengajar, mengembangkan proses komunikasi diagonal (interaksi aktif). Mengembangkan Cara Belajar Siswa Aktif.

3.      Metode Pendidikan
Pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, hakikat manusia atau peserta didik, karakteristik isi/materi pendidikan, fasilitas alat Bantu pendidikan yang tersedia. Penggunaan metode pendidikan diharapkan memperhatikan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dan sebagainya bersifat multi metode.
4.      Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Ada berbagai peranan dan peserta didik yang harus dilaksanakannya, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan tersirat dalam semboyan:”ing ngarso sung tulodo” artinya pendidik harus memberikan atau menjadi teladan bagi peserta didiknya;’ing madya mangun karso”, artinya   pendidik harus mampu membangun karsa pda diri peserta didiknya; dan “tut wuri handayani”artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik harus memberi kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri. Hakekat anak didik adalah bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri selaras dengan wawasan pendidikan sepanjang haya. Hakekat guru sebagai pendidik adalah agen perubahan, berfungsi sebagai pemimpin dan pendukung serta pengembang nilai-nilai hidup di masyarakat, sebagai fasilitator dan bertanggung jawab atas tujuan belajar.
5.      Orientasi Pendidikan
Pendidikan memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. Fungsi konservasi dilandasi asumsi bahwa terdapat nilai-nilai,penetahuan,norma,kebiasaan, dsb. Yang dijingjung tinggi dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan. Contoh:pengetahuan dan nilai-nilai yang bersifat mutlak tentunya tetap harus dipertahannkan, demikian jugapengetahuan dan nilai-nilai budaya yang masih dipandang benar dan baik juga perlu dikonsrvasi. Adapun fungsi kreasi dilandasi asumsi bahwa realitas tidaklah bersifat terberi (given) dan telah selesai sebagaimana diajarkan oleh sains modern.Tetapi realitas “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi dalam mewujukan realitas. Sebab itu, peran manusia baik sebagai individu maupun kelompok adalah merajur realitas yang diinginkannya yang dapat diterima oleh lingkunganya. Dalam hal ini hakikat pendidikan seyogyanya diletakkan pada upay-upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi para pelajar agar mereka tidak saja mampu memeahami perubahan tetapi mampu berperan sebagai agen perubahan atau perajut realitas ( A. Mappadjantji Amien,2005).Perubahan merupakan suatu keharusan atau kenyataan yang tidak dapat kita tolak, sehingga para peserta didik harus dididik untuk menguasainya dan bukan sebaliknya, mereka ,menjadi dikuasai oleh perubahan.


6.      Fungsi pendidikan nasional Indonesia
Fungsi pendidikan nasionalIndonesiaadalah untuk mengembangkan warga negaraIndonesia, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, mengembangkan bangsaIndonesiadan mengembangkan kebudayaan Indonesia
7.      Unsur-unsur pokok pendidikan nasional
Unsur-unsur pokok pendidikan nasional adalah pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan kepribadian, pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan kesenian, pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kesadaran bersejarah.
8.      Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional
Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas tanggung jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki dasar-dasar filsafat:
1.      Filsafat ontologis
2.      Filsafat epistemologis
3.      Filsafat aksiologis
Setiap sila-sila Pancasila didasari oleh filsafat ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pancasila di Indonesia digunakan sebagai landasan filsafat Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, Pancasila mempunyai pandangan terhadap etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini berimplikasi kepada pendidikan di Indonesia. Implikasi itu terdapat di kurikulum Indonesia yang mencakup kegiatan pembelajaran di Indonesia.

B.     Saran
Pancasila menjadi dasar filsafat Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu, jika Pancasila hendaknya diterapkan dalam seluruh lini kehidupan agar kelima sila Pancasila dapat tertanam sanubari bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


Elly. M. Setiadi. 2005. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia.

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paragdima Yogyakarta.

Uyoh Sadulloh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.



noviariansyah.wordpress.com/2011/06/17/filsafatpendidikannasionalpancasila, didownload tanggal 21 April 2013, pukul 20.03



Posting Komentar

0 Komentar