MAKALAH
PERSPEKTIF GLOBAL
PEREMPUAN
DAN GENDER
Makalah
ini disusun untuk memenuhi
salah satu
tugas Mata Kuliah Perspektif Global
Dosen Pengampu :
Mujinem,M.Hum
Disusun
oleh:
Rizqi
Munandar 10108241082
Kelas II C
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wacana dan isu “kesetaraan gender” (KG) kini menggema luar biasa di
Indonesia. Berbagai program digelar untuk mensosialisasikan program ini.
Bahkan, seolah-olah, paham ini sudah dianggap sebagai satu kebenaran, yang tidak
boleh dipersoalkan. Seperti halnya beberapa paham lain yang datang dari
peradaban Barat, banyak orang yang kemudian mencari pembenarannya dalam
ayat-ayat al-Quran dan hadits. Sekarang, ada istilah ”pembangunan berwawasan
gender”, “politik berwawasan
gender”, “pendidikan berwawasan gender”, “fiqih berwawasan gender”, “tafsir berperspektif gender,” dan sebagainya.
Sebagian aktivis
gender kemudian mengangkat isu penjajahan dan penindasan perempuan oleh
laki-laki pun diangkat. Seolah-olah, selama ini kaum wanita mundur karena ditindas oleh laki-laki.
Lalu, kaum wanita disuruh bergerak untuk melawan apa yang mereka katakan sebagai
”hegemoni” laki-laki. Entah mengapa, negara-negara Barat dan juga LSM-LSM
mereka, kini sangat aktif mendanai berbagai proyek penelitian dan gerakan KG.
Bahkan, sasaran paham ini sudah semakin spesifik. Ada yang khusus menggarap
pesantren, ada ormas Islam, ada partai, perguruan Tinggi, dan sekolah-sekolah.
Jadi, KG tidak lepas dari isu pemberdayaan perempuan dan gerakan feminisme. Dan ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah kelam masyarakat Barat pada
abad pertengahan. Menurut McKay dalam bukunya a History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan
telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang
profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah
perempuan itu manusia atau bukan. (Maududi, Hijab, 1995). Kehidupan keras dialami
oleh perempuan-perempuan di Eropa abad Pertengahan (The Middle Ages). Dalam esai Francis Bacon tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan
Kehidupan Sendiri), disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk
perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan
publiknya. (Arivia, 2002).
Karena diperlakukan sebagai makhluk tertindas, maka muncullah kemudian
berbagai gerakan pembebasan perempuan. Termasuk membebaskan diri dari
kungkungan agama. Dalam bukunya, yang berjudul Membiarkan Berbeda?, (1999), pakar Ilmu Gizi IPB, Dr. Ratna Megawangi, menyebutkan, ide KG bersumber pada paham Marxis, yang
menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas
penindas. Institusi keluarga yang mendiskriminasi perempuan harus dihilangkan
atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu
masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara
laki-laki dan perempuan. Agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20,
adalah bagaimana mewujudkan KG secara kuantitatif, yaitu laki-laki dan
perempuan sama-sama berperan, baik di luar maupun di
dalam rumah. Tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan. Urusan rumah tangga dan
anak adalah urusan sama-sama. Mereka percaya, bahwa perbedaan peran berdasarkan
gender adalah karena produk budaya, bukan karena perbedaan biologis atau hal
yang nature.
A.
Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan menjelaskan gambaran
umum tentang perempuan dan gender. Bagaimana wanita dapat meningkatkan
kapasitas dirinya agar kesetaraan gender dapat dicapai oleh perempuan. Lalu
mengupas sedikit tentang bias gender di dalam dunia pendidikan. Serta
menjelaskan dampak positif dan negatif yang diakibatkan dari kesetaraan gender
itu sendiri.
B.
Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada perempuan pada khususnya agar para perempuan sadar akan gender.
Gender dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan sosial. Jadi, diharapkan
perempuan dapat meningkatkan kapasitasnya agar kesetaraan gender dapat dicapai.
Bila kesetaraan gender sudah didapatkan, diharapkan kelak bisa meningkatkan
produktifitas perempuan khususnya di bidang ekonomi.
BAB II
PERMASALAHAN
Tanggal 8 Maret 2011. Kembali kita memperingati Hari Perempuan
Internasional. Hari yang didedikasikan untuk perjuangan kaum hawa, hari yang
diperingati khusus menandakan bukti bahwa wanita itu luar biasa.
Sayangnya, perempuan seringkali diangap dengan stereotipe yang lemah dan
menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum pria yang berpikiran seperti itu,
tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri dan kurang meyakini bahwa
sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria.
Ungkapan dari Anaïs Nin di atas begitu benar, rasanya perempuan seringkali
bergantung pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya kebahagiaan
hidup.
Perempuan termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur,
sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak
penting.
Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan
karier kerja menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut untuk
berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang tidak
bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya yang terlalu fokus
untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan keluarganya.
Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri yang terus
meningkat semakin sulit untuk digapai. Selain tugasnya yang banyak dan
tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan.
Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu. Terlalu banyak
bahaya yang dihadapi perempuan. Sehingga hal hal inilah yang membuat perempuan
semakin tua semakin tidak produktif.
Pandangan seperti inilah yang harus kita ubah bersama. Bahwa sudah tidak
masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan
menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting.
Harusnya, sedikit apapun kontribusi yang bisa kita lakukan untuk lingkungan
adalah modal dan harta kita untuk mampu berbuat lebih banyak. seorang perempuan
tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan keluarganya, tetapi juga
bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun generasi super.
Perempuan harus sadar, perannya sebagai seorang ibu yang melelahkan dan tak
mengenal batas waktu adalah kesempatan untuk mendapatkan kemuliaan baik di
dunia maupun di mata Tuhan.
Betapa jika perempuan mampu menyeimbangkan semuanya dan tetap mencapai
target target diri itu adalah nilai tambahan yang membuatnya lebih unggul
dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang kita miliki,
itupun adalah bukti nyata betapa sesuatu yang berharga tidak mungkin lepas dari
penjagaan yang ketat. Semua norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adalah
panduan bagi kita serta jaminan untuk keselamatan dan kebaikan bagi kaum
perempuan.
Sangat wajar bukan bila perhiasan mendapatkan penjagaan ketat? Wajar saja
karena mereka diinginkan oleh banyak orang.
Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama
persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Tapi melihat hal dan kewajiban maksimal
yang bisa dilakukan dan didapatkan serta sesuai dengan konteks keperempuanan.
Malu rasanya apabila kita berteriak tentang kesetaraan gender apabila itu
artinya segala sesuatunya mutlak sama. Karena perempuan tentunya tidak siap
jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau
sebaliknya laki-laki pun tidak akan mampu menyelesaikan semuaa tugas berat dan
rutin yang biasa dikerjakan perempuan.
Kesetaraan gender tidak untuk seperti itu, tetapi memberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk perempuan agar mampu berkarya dan melaksanakan hak serta
kewajiban dengan lebih baik lagi.
Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan
sebagai pelengkap tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini
menjadi lebih manusiawi dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya
suatu peradaban, yang ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan.
Maka jika perempuan masih tidak terima dengan segala peraturan dan batasan
serta kekurangan? Ya, itu tanda bahwa perempuan lupa betapa berharganya ia
Sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki
ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak
cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan
dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan
bahwa ia sebenarnya sedih dan malu.
Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang
sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng
maskulinitasnya.
Tetapi kenyataan juga menunjukkan, menjadi perempuan pun
tidaklah mudah. Stereotipe perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri
telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karena itu, jika seorang perempuan
mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak
rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Demikianlah, bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan
melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui
pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga
(perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak,
mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan
domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti
media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa ternyata sarat
dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun
rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena
pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang ”hanya” dimiliki
oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu
perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik.
Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis
kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang
berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat
murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan, ”Laki-laki kok menangis?
Laki-laki tak boleh cengeng”. Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik
ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan, ”Anak perempuan kok tidak tahu sopan
santun?”
Konstruksi Sosial Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial. Celakanya, ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh.
Konstruksi Sosial Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial. Celakanya, ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh.
Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan,
peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki
dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena
latar belakang pendidikan yang belum setara.
Bias gender tampak sekali dalam realita kehidupan di atas dan
ini tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga
bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik,
lembut, dan melayani.
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan
berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka pada masa
mendatang. Ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap
perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut
tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya
ia akan disebut banci, penakut atau bukan lelaki sejati.
Padahal menurut William Pollacek, sebenarnya, bayi laki-laki
secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika
sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada
usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai
malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi
laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak
takut.
Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai ”anak mami”.
Isu kesetaraan gender memang telah didengung-dengungkan oleh berbagai pihak, bahkan kebanyakan mahasiswa sangat getol untuk menyuarakan isu tersebut. Tetapi jika isu tersebut hanya digembar-gemborkan ke sana-ke mari tanpa adanya keseriusan dari pihak terkait, hal ini hanya akan menjadi percuma dan sia-sia belaka.
Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai ”anak mami”.
Isu kesetaraan gender memang telah didengung-dengungkan oleh berbagai pihak, bahkan kebanyakan mahasiswa sangat getol untuk menyuarakan isu tersebut. Tetapi jika isu tersebut hanya digembar-gemborkan ke sana-ke mari tanpa adanya keseriusan dari pihak terkait, hal ini hanya akan menjadi percuma dan sia-sia belaka.
Untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan bias gender agar
tecapai kesetaraan dan keadilan gender perlu sebuah upaya serius dari berbagai
pihak. Mulai dari lingkungan keluarga, ayah dan ibu mulai menanamkan kesetaraan
dan keadilan gender dengan cara mereka saling menghormati dan melayani, tidak
lagi didasarkan atas ”apa kata ayah”. Jadi orang tua yang berwawasan gender
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan
yang kuat dan percaya diri.
Pola penerapan kesetaraan dan keadilan gender yang kedua adalah
dari pihak sekolah. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan
keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan,
sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan
standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender.
Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi
terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan melalui proses
pembelajaran yang peka gender.
Perlu strategi lagi, selain dari dua upaya di atas, yaitu yang
dikenal sebagai istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming).
Pengarusutamaan gender berarti kita selalu memasukkan atau memikirkan isu
gender sebagai salah satu inti kegiatan utama dan bukan menomorduakan,
dilakukan sambil lalu, dipinggirkan, dianaktirikan atau diabaikan.
Pada hakikatnya pengarusutamaan gender adalah suatu strategi
yang dilakukan untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, yaitu
upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesepakatan yang
sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama oleh masyarakat.
Bukan Kodrat Perempuan Mengacu pada Mansour Fakih, gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara lelaki dan perempuan. Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya menghambat kemajuan perempuan.
Bukan Kodrat Perempuan Mengacu pada Mansour Fakih, gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara lelaki dan perempuan. Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya menghambat kemajuan perempuan.
Maka untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mana pun
secara riil, diperlukan kesadaran, kepekaan, dan keadilan masyarakat terhadap
gender. Selama ini masih ditemui perlakuan pembedaan peran dan aktivitas di
lingkungan mana pun. Dengan terwujudnya kesadaran, kepekaan, dan keadilan gender
di masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan potensi dan
kemampuannya serta memperoleh peluang yang sama. Salah satu jenis kelamin
tertentu juga tak dirugikan. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai
sumber daya yang berguna bagi pembangunan bangsa.
Karena itu pendidikan berpersfektif gender perlu ditumbuhkan di
masyarakat, khususnya pendidik, orang tua, pembuat kebijakan. Pendidikan yang
berperspektif gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep keadilan
gender, kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki,
memperhatikan kebutuhan serta kepentingan gender praktis/ strategis perempuan
dan laki-laki. Pandangan masyarakat terhadap anak laki-laki dan perempuan yang
masih konvensional perlu diberi wawasan yang lebih luas
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Perspekif Global
Secara etimologis, kata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya “jenis kelamin”,
Ajat Sudrajat (John M. Echols dan Shadily, 2002:265).
Kata gender berasal dari bahasa
Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Dalam The Contemporary English Indonesian
Dictionary, gender berarti penggolongan menurut jenis kelamin, Ajat
Sudrajat (Peter Salim, 1989:771).
Di dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Concise
Oxford Dictionary of Current English, edisi 1990, gender diartikan sebagai penggolongan
gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan
dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta
ketiasaan jenis kelamin atau kenetralan, Ajat Sudrajat (Tim Dosen PAI UNY,
2002:131)
Dari berbagai definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh
sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat
(social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sudah menjadi hal yang umum bila
perempuan, misal dalam pekerjaan, selalu dibedakan dengan laki-laki. Misalnya
saja pekerjaan menyetir bus. Kebanyakan supir bus dilakukan oleh laki-laki.
Masyarakat menganggap supir bus adalah pekerjaan yang berat untuk dilakukan
sehingga laki-lakilah yang harus mengerjakannya. Perempuan yang dipandang
secara umum lebih lemah dalam bidang fisik dibandingkan laki-laki tidak
disarankan untuk melakukan pekerjaan ini. Lagipula untuk perempuan, ada
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh perempuan dan tidak terlalu membutuhkan
kekuatan fisik, misal memasak, mencuci, menyetrika. Padahal bila dibalik pola
fikirnya, laki-laki mempunyai kekuatan fisik yang lebih besar secara umum, tapi
kenapa laki-laki jarang yang melakukan pekerjaan perempuan seperti mencuci,
menyetrika, memasak, dan lain sebagainya? Bukankah laki-laki mempunyai kekuatan
fisik lebih besar daripada perempuan dalam hal ini? Inilah pandangan masyarakat
secara umum, bahwa laki-laki (suami) harus mencari nafkah dengan bekerja di
luar rumah dan perempuan (istri) bekerja di dalam rumah, termasuk mengurus anak
dan keluarga.
Sebenarnya perempuan itu sah-sah
saja bekerja seperti layaknya laki-laki asal kemampuannya mencukupi. Misal
bekerja sebagai guru karate? Kalau perempuan tersebut kuat secara fisik dan
mampu memahami jurus-jurus dengan baik, kenapa tidak?
Sudah saatnya paradigma gender di
Indonesia ini dirubah. Perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata. Kalau
perempuan tersebut memang mampu melaksanakan pekerjaan laki-laki, sudah
sepantasnya perempuan dihargai dalam pekerjaan tersebut.
2. Manfaat
Manfaat yang bisa diambil dari kesetaraan gender ini
adalah agar hak perempuan dalam pekerjaan bisa dimanfaatkan oleh wanita itu
sendiri. Banyak perempuan yang diremehkan karena kelemahan perempuan. Padahal
tidak semua perempuan lemah. Tergantung dari lemah di bagian apa dahulu? Kalau
perempuan tersebut memang mampu dan bisa melakukan pekerjaan itu, sudah menjadi
hak perempuan untuk mendapatkan pekerjaan itu.
3. Dampak
Dampak yang ditimbulkan dari kesetaraan gender sendiri
menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah lebih
produktifnya perempuan karena peran perempuan tidak hanya di dalam rumah tangga
mengurusi urusan rumah tangga. Perempuan juga bisa mengembangkan segenap
potensinya untuk mengembangkan karirnya sehinga produktifitas ekonomi bagi
keluarga bisa lebih ditingkatkan.
Namun, kesetaraan gender juga menimbulkan dampak
negatif. Salah satunya adalah timbulnya wanita karir. Banyak juga wanita yang
menunda pernikahan sampai ada yang rela tidak nikah karena akan mengganggu
pekerjaan wanita tersebut. Ada juga wanita karir yang menikah, sehingga akibat
yang ditimbulkan adalah terlantarnya anak-anak keluarga wanita karir tersebut
karena sang ibu lebih mementingkan pekerjaannya daripada mengurus anak-anak.
Tak jarang mereka lebih sering menyewa baby sitter untuk mengurus anak-anak
mereka. Tentu saja sang anak tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya
dari ibunya atau orang tuanya. Jadi seandainya banyak anak yang kurang adab sopan
santun atau kurang didikan, wajar karena pengasuh bayi atau pembantu sangat
jarang ada yang mau atau bisa mengajari sopan santun. Inilah salah peran sang
ibu bila kesetaraan gender dilakukan secara berlebihan. perempuan bisa bekerja
setara dengan pihak laki-laki, namun pekerjaan rumah tangga tidak boleh
ketinggalan.
4.
Sikap Mahasiswa Sebagai Calon Guru
Mengingat pentingnya peran wanita pada era 21 ini,
sudah saatnya perempuan meningkatkan kapasitasnya dihadapan laki-laki. Apalagi
di bidang pendidikan, perempuan sudah mendapatkan hak yang sama dihadapan
laki-laki. Di Undang-Undang Dasar ’45 sudah diatur bahwa setiap warga Indonesia
mendapatkan hak yang sama tanpa memandang ras, suku, atau agama tertentu. Lalu
bagaimana dengan sikap mahasiswa sebagai calon guru? Mahasiswa seharusnya bisa
menanamkan kepada dirinya terlebih dahulu bahwa kesetaraan gender bagi
perempuan ini penting. Untuk mahasiswi, harus paham betul, bila kesetaran
gender sudah didapat, jangan melupakan urusan yang ada di masa depan kelak, misal
pernikahan. Bagaimanapun juga, peran ibu dalam rumah tangga sangat penting bagi
perkembangan anak. Sebagai mahasiswi, persiapkan diri sebaik mungkin untuk
selalu meningkatkan prestasi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang baik demi
mendukung progesivitas ekonomi keluarga. Begitu juga dengan laki-laki, sadarlah
bahwa kelak akan menjadi tulang punggung yang paling utama dalam keluarga. Maka
dari itu, sebagai mahasiswa harus terus meningkatkan prestasi agar kelak
mendapatkan pekerjaan yang baik demi menopang ekonomi keluarga. Sebagai
mahasiswa, baiknya menyadari akan kesetaraan gender ini agar sebagai laki-laki
mampu menghargai perempuan yang kelak akan menjadi istrinya kelak.
5.
Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial tentang gender yang ada di dalam
masyarakat sudah lebih baik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. perempuan
dalam hal ini sudah mulai meningkatkan kemampuannya sesuai dengan bidang yang
digeluti. Contoh yang ekstrim adalah pekerjaan tukang becak. Kebanyakan tukang
becak dilakukan oleh laki-laki. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan, maka
perempuan yang berbadan fisik kuat bisa melakukan pekerjaan sebagai tukang
becak. Atau seorang direktur. Tidak harus seorang direktur dipegang oleh
laki-laki. Perempuan pun bisa menjadi direktur. Kesadaran sosial seperti inilah
yang harus selalu ditumbuhkembangkan di dalam masyarakat agar kemajuan sumber
daya masyarakat dalam bidang ekonomi dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Gender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu
bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati.
Jadi gender dibentuk oleh
lingkungan masyarakat dan sosial. Sudah saatnya perempuan bangkit untuk
menyetarakan posisinyaa dengan laki-laki (khususnya dalam bidang pekerjaan).
Sudah seharusnya pandangan yang menganggap perempuan dibawah laki-laki dalam
hal pekerjaan harus secepatnya.
Dalam bidang pendidikan, kesetaraan
gender sudah lebih baik. ini harus dipertahankan dan ditingkatkan. Perlu
ditekankan, bahwa kesetaraan gender bukan untuk menyaingi pihak laki-laki,
namun untuk membantu laki-laki itu sendiri biar tingkat perekonomian dalam
keluarga bisa menjadi lebih maju, namun pihak perempuan juga jangan sampai
berlebihan. Dan tetap diingat, bahwa anak pun butuh kasih sayang dari
orangtuanya, termasuk kasih sayang dari seorang ibu.
2.
SARAN
Untuk para perempuan, berjuanglah
untuk tetap bisa menyamakan kedudukan dengan sejajar dengan pihak laki-laki.
Namun harus tetap ditekankan bahwa jangan sampai berlebihan dalam mengejar
posisi ini. Contoh yang ekstrim adalah menjadi wanita karir, sampai tidak mau
punya anak, dan lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarganya. Untuk pihak
laki-laki, sebaiknya memberikan motivasi, bahwa perempuan pun perlu
mengembangkan kapasitasnya sebagai perempuan, bukan malah melarang atau tidak
menyetujui kesetaraan gender itu sendiri.
REFERENSI
Ajat Sudrajat, dkk. 2009. Din Al-Islam. Yogyakarta: UNY Press
http://www.unpad.ac.id/archives/40758
0 Komentar