Advertisement

Main Ad

II Perspektif Global - Perempuan dan Gender


MAKALAH

PERSPEKTIF GLOBAL

PEREMPUAN DAN GENDER

Makalah ini disusun untuk  memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Perspektif Global

Dosen Pengampu : Mujinem,M.Hum

Disusun oleh:
Rizqi Munandar 10108241082
Kelas II C


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011




BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang
Wacana dan  isu “kesetaraan gender” (KG) kini menggema luar biasa di Indonesia. Berbagai program digelar untuk mensosialisasikan program ini. Bahkan, seolah-olah, paham ini sudah dianggap sebagai satu kebenaran, yang tidak boleh dipersoalkan. Seperti halnya beberapa paham lain yang datang dari peradaban Barat, banyak orang yang kemudian mencari pembenarannya dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits. Sekarang, ada istilah ”pembangunan berwawasan gender”,  “politik berwawasan gender”, “pendidikan berwawasan gender”,   “fiqih berwawasan gender”,  “tafsir berperspektif gender,” dan sebagainya.
Sebagian aktivis gender kemudian mengangkat isu penjajahan dan penindasan perempuan oleh laki-laki pun diangkat. Seolah-olah, selama ini kaum wanita mundur karena ditindas oleh laki-laki. Lalu, kaum wanita disuruh  bergerak untuk melawan apa yang mereka katakan sebagai ”hegemoni” laki-laki. Entah mengapa, negara-negara Barat dan juga LSM-LSM mereka, kini sangat aktif mendanai berbagai proyek penelitian dan gerakan KG. Bahkan, sasaran paham ini sudah semakin spesifik. Ada yang khusus menggarap pesantren, ada ormas Islam, ada partai, perguruan Tinggi, dan sekolah-sekolah.
Jadi, KG tidak lepas dari isu pemberdayaan perempuan dan gerakan feminisme. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari  sejarah kelam  masyarakat Barat pada abad pertengahan.  Menurut McKay dalam bukunya a  History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan  serius mengenai apakah perempuan itu  manusia atau bukan. (Maududi, Hijab, 1995). Kehidupan keras dialami oleh perempuan-perempuan di Eropa abad Pertengahan (The Middle Ages). Dalam esai  Francis Bacon  tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri), disebutkan banyak laki-laki  memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002).   
Karena diperlakukan sebagai makhluk tertindas, maka muncullah kemudian berbagai gerakan pembebasan perempuan. Termasuk membebaskan diri dari kungkungan agama. Dalam bukunya, yang berjudul Membiarkan Berbeda?, (1999), pakar Ilmu Gizi IPB, Dr. Ratna Megawangi,  menyebutkan, ide KG bersumber pada paham Marxis, yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Institusi keluarga yang mendiskriminasi perempuan harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan KG secara kuantitatif, yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama berperan,  baik di luar maupun di dalam rumah. Tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan. Urusan rumah tangga dan anak adalah urusan sama-sama. Mereka percaya, bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena perbedaan biologis atau hal yang nature.  

A.         Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan menjelaskan gambaran umum tentang perempuan dan gender. Bagaimana wanita dapat meningkatkan kapasitas dirinya agar kesetaraan gender dapat dicapai oleh perempuan. Lalu mengupas sedikit tentang bias gender di dalam dunia pendidikan. Serta menjelaskan dampak positif dan negatif yang diakibatkan dari kesetaraan gender itu sendiri.

B.          Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada perempuan pada khususnya agar para perempuan sadar akan gender. Gender dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan sosial. Jadi, diharapkan perempuan dapat meningkatkan kapasitasnya agar kesetaraan gender dapat dicapai. Bila kesetaraan gender sudah didapatkan, diharapkan kelak bisa meningkatkan produktifitas perempuan khususnya di bidang ekonomi.

 


BAB II
PERMASALAHAN

Tanggal 8 Maret 2011. Kembali kita memperingati Hari Perempuan Internasional. Hari yang didedikasikan untuk perjuangan kaum hawa, hari yang diperingati khusus menandakan bukti bahwa wanita itu luar biasa. 
Sayangnya, perempuan seringkali diangap dengan stereotipe yang lemah dan menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. 
Ungkapan dari Anaïs Nin di atas begitu benar, rasanya perempuan seringkali bergantung pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya kebahagiaan hidup.
Perempuan termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.
Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan karier kerja menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut untuk berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan keluarganya. 
Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri yang terus meningkat semakin sulit untuk digapai.  Selain tugasnya yang banyak dan tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan. Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu. Terlalu banyak bahaya yang dihadapi perempuan. Sehingga hal hal inilah yang membuat perempuan semakin tua semakin tidak produktif. 
Pandangan seperti inilah yang harus kita ubah bersama. Bahwa sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting.
Harusnya, sedikit apapun kontribusi yang bisa kita lakukan untuk lingkungan adalah modal dan harta kita untuk mampu berbuat lebih banyak. seorang perempuan tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan keluarganya, tetapi juga bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun generasi super. 
Perempuan harus sadar, perannya sebagai seorang ibu yang melelahkan dan tak mengenal batas waktu adalah kesempatan untuk mendapatkan kemuliaan baik di dunia maupun di mata Tuhan. 
Betapa jika perempuan mampu menyeimbangkan semuanya dan tetap mencapai target target diri itu adalah nilai tambahan yang membuatnya lebih unggul dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang kita miliki, itupun adalah bukti nyata betapa sesuatu yang berharga tidak mungkin lepas dari penjagaan yang ketat. Semua norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adalah panduan bagi kita serta jaminan untuk keselamatan dan kebaikan bagi kaum perempuan. 
Sangat wajar bukan bila perhiasan mendapatkan penjagaan ketat? Wajar saja karena mereka diinginkan oleh banyak orang. 
Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Tapi melihat hal dan kewajiban maksimal yang bisa dilakukan dan didapatkan serta sesuai dengan konteks keperempuanan.
Malu rasanya apabila kita berteriak tentang kesetaraan gender apabila itu artinya segala sesuatunya mutlak sama. Karena perempuan tentunya tidak siap jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau sebaliknya laki-laki pun tidak akan mampu menyelesaikan semuaa tugas berat dan rutin yang biasa dikerjakan perempuan.
Kesetaraan gender tidak untuk seperti itu, tetapi memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk perempuan agar mampu berkarya dan melaksanakan hak serta kewajiban dengan lebih baik lagi. 
Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan sebagai pelengkap tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini menjadi lebih manusiawi dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya suatu peradaban, yang ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan.
Maka jika perempuan masih tidak terima dengan segala peraturan dan batasan serta kekurangan? Ya, itu tanda bahwa perempuan lupa betapa berharganya ia
            Sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu.
Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Tetapi kenyataan juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotipe perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karena itu, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Demikianlah, bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. 
Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang ”hanya” dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan, ”Laki-laki kok menangis? Laki-laki tak boleh cengeng”. Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan, ”Anak perempuan kok tidak tahu sopan santun?”
Konstruksi Sosial Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial. Celakanya, ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh. 
Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena latar belakang pendidikan yang belum setara.
Bias gender tampak sekali dalam realita kehidupan di atas dan ini tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. 
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka pada masa mendatang. Ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan lelaki sejati.
Padahal menurut William Pollacek, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. 

Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai ”anak mami”.
Isu kesetaraan gender memang telah didengung-dengungkan oleh berbagai pihak, bahkan kebanyakan mahasiswa sangat getol untuk menyuarakan isu tersebut. Tetapi jika isu tersebut hanya digembar-gemborkan ke sana-ke mari tanpa adanya keseriusan dari pihak terkait, hal ini hanya akan menjadi percuma dan sia-sia belaka. 
Untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan bias gender agar tecapai kesetaraan dan keadilan gender perlu sebuah upaya serius dari berbagai pihak. Mulai dari lingkungan keluarga, ayah dan ibu mulai menanamkan kesetaraan dan keadilan gender dengan cara mereka saling menghormati dan melayani, tidak lagi didasarkan atas ”apa kata ayah”. Jadi orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Pola penerapan kesetaraan dan keadilan gender yang kedua adalah dari pihak sekolah. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.
Perlu strategi lagi, selain dari dua upaya di atas, yaitu yang dikenal sebagai istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Pengarusutamaan gender berarti kita selalu memasukkan atau memikirkan isu gender sebagai salah satu inti kegiatan utama dan bukan menomorduakan, dilakukan sambil lalu, dipinggirkan, dianaktirikan atau diabaikan. 
Pada hakikatnya pengarusutamaan gender adalah suatu strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, yaitu upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesepakatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama oleh masyarakat.
Bukan Kodrat Perempuan Mengacu pada Mansour Fakih, gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara lelaki dan perempuan. Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya menghambat kemajuan perempuan.
Maka untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mana pun secara riil, diperlukan kesadaran, kepekaan, dan keadilan masyarakat terhadap gender. Selama ini masih ditemui perlakuan pembedaan peran dan aktivitas di lingkungan mana pun. Dengan terwujudnya kesadaran, kepekaan, dan keadilan gender di masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya serta memperoleh peluang yang sama. Salah satu jenis kelamin tertentu juga tak dirugikan. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai sumber daya yang berguna bagi pembangunan bangsa.
Karena itu pendidikan berpersfektif gender perlu ditumbuhkan di masyarakat, khususnya pendidik, orang tua, pembuat kebijakan. Pendidikan yang berperspektif gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep keadilan gender, kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, memperhatikan kebutuhan serta kepentingan gender praktis/ strategis perempuan dan laki-laki. Pandangan masyarakat terhadap anak laki-laki dan perempuan yang masih konvensional perlu diberi wawasan yang lebih luas

BAB III
PEMBAHASAN

1.           Perspekif Global
Secara etimologis, kata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya “jenis kelamin”, Ajat Sudrajat (John M. Echols dan Shadily, 2002:265).
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
 Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, gender berarti penggolongan menurut jenis kelamin, Ajat Sudrajat (Peter Salim, 1989:771).
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Concise Oxford Dictionary of Current English, edisi 1990, gender diartikan sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiasaan jenis kelamin atau kenetralan, Ajat Sudrajat (Tim Dosen PAI UNY, 2002:131)
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
            Sudah menjadi hal yang umum bila perempuan, misal dalam pekerjaan, selalu dibedakan dengan laki-laki. Misalnya saja pekerjaan menyetir bus. Kebanyakan supir bus dilakukan oleh laki-laki. Masyarakat menganggap supir bus adalah pekerjaan yang berat untuk dilakukan sehingga laki-lakilah yang harus mengerjakannya. Perempuan yang dipandang secara umum lebih lemah dalam bidang fisik dibandingkan laki-laki tidak disarankan untuk melakukan pekerjaan ini. Lagipula untuk perempuan, ada pekerjaan yang mudah dilakukan oleh perempuan dan tidak terlalu membutuhkan kekuatan fisik, misal memasak, mencuci, menyetrika. Padahal bila dibalik pola fikirnya, laki-laki mempunyai kekuatan fisik yang lebih besar secara umum, tapi kenapa laki-laki jarang yang melakukan pekerjaan perempuan seperti mencuci, menyetrika, memasak, dan lain sebagainya? Bukankah laki-laki mempunyai kekuatan fisik lebih besar daripada perempuan dalam hal ini? Inilah pandangan masyarakat secara umum, bahwa laki-laki (suami) harus mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah dan perempuan (istri) bekerja di dalam rumah, termasuk mengurus anak dan keluarga.
            Sebenarnya perempuan itu sah-sah saja bekerja seperti layaknya laki-laki asal kemampuannya mencukupi. Misal bekerja sebagai guru karate? Kalau perempuan tersebut kuat secara fisik dan mampu memahami jurus-jurus dengan baik, kenapa tidak?
            Sudah saatnya paradigma gender di Indonesia ini dirubah. Perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata. Kalau perempuan tersebut memang mampu melaksanakan pekerjaan laki-laki, sudah sepantasnya perempuan dihargai dalam pekerjaan tersebut.

2.      Manfaat
Manfaat yang bisa diambil dari kesetaraan gender ini adalah agar hak perempuan dalam pekerjaan bisa dimanfaatkan oleh wanita itu sendiri. Banyak perempuan yang diremehkan karena kelemahan perempuan. Padahal tidak semua perempuan lemah. Tergantung dari lemah di bagian apa dahulu? Kalau perempuan tersebut memang mampu dan bisa melakukan pekerjaan itu, sudah menjadi hak perempuan untuk mendapatkan pekerjaan itu.

3.      Dampak
Dampak yang ditimbulkan dari kesetaraan gender sendiri menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah lebih produktifnya perempuan karena peran perempuan tidak hanya di dalam rumah tangga mengurusi urusan rumah tangga. Perempuan juga bisa mengembangkan segenap potensinya untuk mengembangkan karirnya sehinga produktifitas ekonomi bagi keluarga bisa lebih ditingkatkan.
Namun, kesetaraan gender juga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah timbulnya wanita karir. Banyak juga wanita yang menunda pernikahan sampai ada yang rela tidak nikah karena akan mengganggu pekerjaan wanita tersebut. Ada juga wanita karir yang menikah, sehingga akibat yang ditimbulkan adalah terlantarnya anak-anak keluarga wanita karir tersebut karena sang ibu lebih mementingkan pekerjaannya daripada mengurus anak-anak. Tak jarang mereka lebih sering menyewa baby sitter untuk mengurus anak-anak mereka. Tentu saja sang anak tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari ibunya atau orang tuanya. Jadi seandainya banyak anak yang kurang adab sopan santun atau kurang didikan, wajar karena pengasuh bayi atau pembantu sangat jarang ada yang mau atau bisa mengajari sopan santun. Inilah salah peran sang ibu bila kesetaraan gender dilakukan secara berlebihan. perempuan bisa bekerja setara dengan pihak laki-laki, namun pekerjaan rumah tangga tidak boleh ketinggalan.

4.      Sikap Mahasiswa Sebagai Calon Guru
Mengingat pentingnya peran wanita pada era 21 ini, sudah saatnya perempuan meningkatkan kapasitasnya dihadapan laki-laki. Apalagi di bidang pendidikan, perempuan sudah mendapatkan hak yang sama dihadapan laki-laki. Di Undang-Undang Dasar ’45 sudah diatur bahwa setiap warga Indonesia mendapatkan hak yang sama tanpa memandang ras, suku, atau agama tertentu. Lalu bagaimana dengan sikap mahasiswa sebagai calon guru? Mahasiswa seharusnya bisa menanamkan kepada dirinya terlebih dahulu bahwa kesetaraan gender bagi perempuan ini penting. Untuk mahasiswi, harus paham betul, bila kesetaran gender sudah didapat, jangan melupakan urusan yang ada di masa depan kelak, misal pernikahan. Bagaimanapun juga, peran ibu dalam rumah tangga sangat penting bagi perkembangan anak. Sebagai mahasiswi, persiapkan diri sebaik mungkin untuk selalu meningkatkan prestasi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang baik demi mendukung progesivitas ekonomi keluarga. Begitu juga dengan laki-laki, sadarlah bahwa kelak akan menjadi tulang punggung yang paling utama dalam keluarga. Maka dari itu, sebagai mahasiswa harus terus meningkatkan prestasi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang baik demi menopang ekonomi keluarga. Sebagai mahasiswa, baiknya menyadari akan kesetaraan gender ini agar sebagai laki-laki mampu menghargai perempuan yang kelak akan menjadi istrinya kelak.

5.      Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial tentang gender yang ada di dalam masyarakat sudah lebih baik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. perempuan dalam hal ini sudah mulai meningkatkan kemampuannya sesuai dengan bidang yang digeluti. Contoh yang ekstrim adalah pekerjaan tukang becak. Kebanyakan tukang becak dilakukan oleh laki-laki. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan, maka perempuan yang berbadan fisik kuat bisa melakukan pekerjaan sebagai tukang becak. Atau seorang direktur. Tidak harus seorang direktur dipegang oleh laki-laki. Perempuan pun bisa menjadi direktur. Kesadaran sosial seperti inilah yang harus selalu ditumbuhkembangkan di dalam masyarakat agar kemajuan sumber daya masyarakat dalam bidang ekonomi dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
BAB IV
PENUTUP

1.      KESIMPULAN
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Jadi gender dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan sosial. Sudah saatnya perempuan bangkit untuk menyetarakan posisinyaa dengan laki-laki (khususnya dalam bidang pekerjaan). Sudah seharusnya pandangan yang menganggap perempuan dibawah laki-laki dalam hal pekerjaan harus secepatnya.
Dalam bidang pendidikan, kesetaraan gender sudah lebih baik. ini harus dipertahankan dan ditingkatkan. Perlu ditekankan, bahwa kesetaraan gender bukan untuk menyaingi pihak laki-laki, namun untuk membantu laki-laki itu sendiri biar tingkat perekonomian dalam keluarga bisa menjadi lebih maju, namun pihak perempuan juga jangan sampai berlebihan. Dan tetap diingat, bahwa anak pun butuh kasih sayang dari orangtuanya, termasuk kasih sayang dari seorang ibu.


2.      SARAN
            Untuk para perempuan, berjuanglah untuk tetap bisa menyamakan kedudukan dengan sejajar dengan pihak laki-laki. Namun harus tetap ditekankan bahwa jangan sampai berlebihan dalam mengejar posisi ini. Contoh yang ekstrim adalah menjadi wanita karir, sampai tidak mau punya anak, dan lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarganya. Untuk pihak laki-laki, sebaiknya memberikan motivasi, bahwa perempuan pun perlu mengembangkan kapasitasnya sebagai perempuan, bukan malah melarang atau tidak menyetujui kesetaraan gender itu sendiri.

REFERENSI

Ajat Sudrajat, dkk. 2009. Din Al-Islam. Yogyakarta: UNY Press
http://www.unpad.ac.id/archives/40758

Posting Komentar

0 Komentar